Mari Peduli Terhadap Penderita Thalassemia
SETIAP harinya, Sentra Thalasemia Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUDZA) didatangi 10 hingga 20 anak penderita kelainan darah. Kedatangan mereka adalah untuk mendapatkan donor darah rutin, minimal sebulansekali.
Kepala ruang Sentral Thalassemia RSUDZA, Dahlia STP menyampaikan, penderita penyakit kelainan darah di Aceh menunjunjukkan trend meningkat. Hal ini terlihat dari makin banyaknya jumlah kunjungan pasien ke RSUDZA, dan mayoritas mereka adalah anak-anak.
Menyahuti fenomena tersebut, akhirnya sejak 18 September 2012, manajemen rumah sakit membuka Sentra Thalassemia.
Menurut Dahlia, pasien thalasemia mendapatkan perhatian khusus dari manajemen rumah sakit. Mereka disediakan ruangan perawatan khusus yang lokasinya berada di rumah sakit lama. Dengan adanya ruangan tersebut, pasien thalassemia yang datang dari berbagai daerah di Aceh bisa mendapatkan penanganan khusus, tidak bercampur dengan ruang pelayanan yang lain. “Dalam satu bulan kunjungan pasien mencapai 170 hingga 200 orang,” sebutnya.
Bahkan pada hari libur sekalipun, pelayanan di Sentra Thalasemia tidak boleh terhenti.
Hal ini mengingat anak-anak yang datang adalah usia sekolah.
“Biasanya ramai pada hari libur sekolah, kalau mereka pergi hari biasa, maka harus libur sekolah,” terangnya.
Penyakit thalassemia, kata Dahlia, membutuhkan perawatan serta pengobatan yang menelan biaya yang mahal, ditambah sulitnya mendapatkan donor darah.
Namun kini, soal biaya tidak lagi menjadi hambatan, karena telah ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) Kesehatan.
Penderita thalassemia, melakukan transfusi darah secara rutin setiap satu bulan sekali.
Namun hal ini bisa berakibat kepada menumpuknya zat besi di dalam tubuh dan menyebabkan gangguan kesehatan yang serius.
Untuk itulah, mereka juga harus minum obat obat kelasi besi secara rutin untuk menyingkirkan zat besi berlebih di dalam tubuh.
Untuk kebutuhan darah di Sentral Thalasemia, dipasok dari Instalasi Transfusi Darah (ITD) RSUDZA. Kalau stok tidak cukup, maka akan diminta dari Palang Merah Indonesia (PMI) Banda Aceh. Selain itu juga mendapat dukungan dari sejumlah lembaga seperti Darah Untuk Aceh serta Blood For Life Aceh.
“Biasanya kalau pasokan darah tidak ada, kita hubungi mereka untuk cari pendonor sukarela,” ujar Dahlia.
Agar kebutuhan darah terus tersedia, dibutuhkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat Aceh untuk mendonorkan darah secara sukarela. Lebih lanjut Dahlia mengajak masyarakat Aceh untuk peduli terhadap penderita thalasemia, dengan tidak mengucilkan mereka.
Meski begitu, dirinya mengaku cukup prihatin dengan makin meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami kelainan darah. Sehingga perlu ada edukasi kepada masyarakat luas tentang upaya pencegahan.
Masyarakat harus tahu, tidak ada obat yang bisa menyembuhkan thalasemia, kecuali memutus mata rantai perkawinan.
Masyarakat harus menyadari jika thalassemia merupakan penyakit bawaan yang diturunkan dari salah satu orang tua kepada anaknya sejak masih dalam kandungan.
Artinya, jika pasangan suami-istri adalah pembawa gen thalasemia, maka kemungkinan anaknya akan menderita thalasemia sebesar 20 persen, dan 20 persen lagi akan melahirkan anak pembawa talasemia. “Sebaiknya tidak menikah dengan sesama pembawa sifat penyakit (carier),” sarannya.
Sebaiknya, sebelum menikah calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan melakukan pemeriksaan kesehatan pranikah, seperti dilakukan di Negara – Negara maju. “Pemeriksaan kesehatan sejak dini ini penting sebagai salah satu upaya pencegahan,” pungkasnya.(sl)