Dari Dunia Arsitektur, Berkibar di Ruang Gizi
BERAWAL dari saran sang kakak, akhirnya dengan penuh pertimbangan, lelaki muda itu pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Diploma III jurusan Gizi, di Kampus Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh. “Semuanya karena saran dari Kakak saya yang tertua, saya mengikuti masukan beliau,” kenang Ardiansyah, staf Instalasi Gizi Rumah Sakit Umumdr Zainoel Abidin Banda Aceh.
Bagi pria kelahiran 5 September 1981 di Banda Aceh ini, itulah kesempatan emas sekaligus untuk menjawab kekecewaan keluarga atas sikapnya, yang sebelumnya hengkang dari kampus Universitas Syiah Kuala.
Ardi, begitu ia akrab disapa, sebelumnya tercatat sebagai mahasiswa teknik Arsitektur Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, angkatan 1999. Namun setelah 4 tahun mengecap pendidikan bahkan sudah menjalani praktik kerja lapangan (PKL), tibatiba rasa jenuh pun muncul.
Anak muda yang supel bergaul itu merasa dirinya tak mampu survive lagi di kampus berjuluk Jantoeng Hate Rakyat Aceh tersebut. “Butuh waktu yang lama untuk meyakinkan diri, sampaisampai Saya tidak masuk kuliah berharihari buat mikirin konsekuensi apa yang bakal saya dapatkan, termasuk sikap keluarga besar saya. Pasalnya, saya nggak mau dibilang pindah jurusan ga ragara bosan, tapi saya memang merasa tidak cocok dengan dunia kerja bidang arsitektur,” tuturnya, kepada kru Lam Haba RSUDZA, Jumat (10/8) lalu.
Sama seperti kebanyakan pemuda, Ardi pun tidak absen dari peristiwa getir dalam membangun kesuksesan hidupnya. Perjalanan studi alumni SMA Negeri 1 Banda Aceh ini nyaris terbilang sulit, apalagi kedua orang tuanya telah duluan menghadap sang Khaliq, tepatnya ketika Ardi masih menimba ilmu di bangku kelas 3 SMP. “Saat itu, biaya pendidikan saya dibantu oleh Kakak, beliaulah yang membantu biaya kuliah saya,” kata Ardi.
Ia mengaku sangat meyakini jika sebuah sukses adalah simultan dari rangkaian perjuangan keras. Karena hanya mereka yang bersungguhsungguh yang mendapatkan buah manis dari perjuangan yang kadang nyaris tak berujung.
Ada sebuah filosofi hidup yang hingga kini terus ia genggam erat, jika salah perbaiki, jika gagal coba lagi, jangan pernah ada kata menyerah. Hingga semua persoalan menjadi klir atau selesai.
Berbekal filosofi berpantang surut itu, di penghujung tahun 2010, ia menyelesaikan pendidikan di Akademi Gizi. “Alhamdulillah pendidikan DIII lulus tepat waktu. Saya berhasil lulus dengan predikat Terbaik Satu, dan diterima sebagai tenaga honorer di Program Studi DIV Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh.” Setelah setahun bekerja Ardi meminta izin atasan untuk bekerja sambil melanjutkan kuliah di Program Studi DIV Gi zi, selama sa tu tahun dan alhamdulillah lulus di tahun 2013 dengan predikat Terbaik Dua Riwayat pengabdian Ardiansyah di Rumah Sakit kebanggaan rakyat Aceh, RSUDZA, bermula sejak empat tahun silam, setelah ia dinyatakan lulus tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Daerah, yang selanjutnya mengantarkan pria berpembawaan tenang itu ke instalasi gizi. “Dari teknik arsitektur berakhir di ruang gizi,” ucapnya, tertawa kecil.
Ketika mengulas soal gizi, Ardi terlihat sangat serius serta care. Padahal sebelumnya ia belajar seni merancang bangunan, namun akhirnya fokus menjalani profesi sebagai Dietitian, alias Ahli Gizi. Tak ada katakata yang terucap karena semuanya telah terangkum dalam satu kalimat: bersyukur. “Rasanya ada kebahagiaan tersendiri usai kita mengedukasi (konseling) pasien, sekaligus untuk melatih kesabaran diri,” tuturnya.
Lebih lanjut Ardi mengungkapkan, bahwa setiap pasien yang masuk ke ruang perawatan akan dilakukan screening atau anamnesis oleh AGRS (ahli gizi rumah sakit) untuk penentuan menu usapan gizi. Screening gizi ini bertujuan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko, tidak berisiko malnutrisi atau kondisi khusus.
Pada saat screening awal, pasien akan ditanya mengenai berat badan, kebiasaan makan, terapi diet sebelum dirawat, sejarah penyakit kemudian dihitung kebutuhan nutrisi dan kalorinya sesuai terapi dokter.
Screening, juga bertujuan untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko, tidak berisiko, malnutrisi atau dalam kondisi khusus yang memerlukan konsultasi lebih lanjut ke ahli gizi. “Penentu diet biasanya dilakukan oleh dokter, ahli gizi hanya menerjemahkannya dalam bentuk makanan tetapi jika dirasa penetapan diet kurang pas, kita boleh mengajukan pendapat. Jadi, ketentuan diet gizi tetap dilakukan kolaborasi antara dokter dan ahli gizi,” beber alumni Sekolah Dasar Bhayangkari itu.
Setelah ditentukan jenis diet sesuai dengan penyakitnya kemudian ahli gizi akan mengisi buku register pasien rawat inap yang berisi daftar semua pasien rumah sakit, jam makan, ruangan dan jenis diet. Selanjutnya, chef (juru masak) di Instalasi Gizi, akan meracik menu sesuai form order dari ahli gizi, berupa kebutuhan makanan serta jumlah pasien. Juru masak akan menyesuaikan menu dengan kebutuhan serta jumlah pasien, yang tiap paket makanan diberikan label sesuai dengan nama pasien, jenis diet dan kelas.Proses pengolahan kemudian dilanjutkan pendistribusian makanan oleh pramusaji.”Sebelum diletakkan dalam trolley (kereta sorong), ahli gizi juga mengecek kesesuaian label yang tertera pada makanan. Label ini juga berisi beberapa pantangan atau permintaan pasien, seperti alergi dengan jenis makanan tertentu,” papar Ardi.
Tidak hanya dengan obatobatan saja, melainkan tiap pasien juga punya menu makanan sesuai penyakitnya. Kesembuhan pasien juga salah satunya ditentukan oleh gizi yang dikonsumsi.
“Tak jarang memang, ada pasien yang nggak mau makan, yaaa… mungkin karena selera makan berkurang. Disinilah peran kami untuk memotivasi pasien agar selera makannya muncul, termasuk meminta dukungan dari orangorang terdekat pasien,” tukas Ardiansyah.
Ya, peran dan dukungan keluarga tentu menjadi penawar bagi jiwajiwa yang terbaring lemas di ranjang rawat inap, persis bagaikan motivasi yang pernah diberikan oleh sang Kakak, ketika Ardi terkontaminasi rasa jenuh di meja Arsitektur hingga akhirnya sukses menjadi seorang profesional medis. “Jika gagal coba lagi tapi jika menyerah maka semuanya tak kan selesai,” pungkas Ardiansyah, tersenyum bahagia.(rid)