80 Persen Aplikasi Made In Team IT RSUDZA
SISTEM Manajemen Informasi Rumah Sakit (SIM RS) adalah sebuah sistem informasi yang terintegrasi yang disiapkan untuk menangani keseluruhan proses manajemen rumah sakit.
Mulai dari pelayanan diagnosa dan tindakan untuk pasien, medical record, apotek, gudang farmasi, penagihan, database personalia, dan sebagainya.
Kepala Instalasi Sistem Informasi RSUDZA Junaidi ST mengungkapkan, sejak tahun 2008 rumah sakit milik pemerintah Aceh itu sudah mengembangkan SIM RS. Kala itu, atas bantuan GTZ atau organisasi kerja sama internasional milik pemerintah Jerman, dilakukan pelelangan untuk mendapatkan perusahaan yang mampu menangani SIM RS. Sebuah perusahaan dari Bandung kemudian menjadi pemenangnya.
Pada tahun 2009, sistem yang dibuat oleh pihak ketiga itu diaplikasikan di RSUDZA.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, beberapa tahun kemudian SIM RS itu pun tidak relevan lagi digunakan. Menurut Junaidi, pihaknya mulai mengembangkan SIM RS scara mandiri sejak tahun 2015. “Jadi, pada tahun 2015 kami take over.
Kami membuat yang namanya software reengineering,” kata Junaidi dalam sebuah wawancara dengan kru RSUDZA Lam Haba, pekan lalu.
Beberapa aplikasi baru kemudian dibuat untuk menggantikan aplikasi lama yang dinilai sudah kurang relevan dengan tuntutan kebutuhan yang ada. Saat ini aplikasinya murni dikerjakan oleh tim rumah sakit atau tepatnya made in tim IT RSUDZA.
Seluruh layanan pasien tercatat di dalam sistem. “Jadi, misalnya pasien di IGD ada sistem yang mencatat. Begitu juga ketika pasien dibawa ke ruang operasi, juga akan tercatat di sistem. Intinya semua terintegrasi dalam database yang ada,” tandas Junaidi yang kelahiran Cot Tunong, Gandapura, Bireuen.
Integrasi lintas sistem Dikatakan Junaidi, sistem yang baru dikembangkan punya sejumlah kelebihan, antara lain lebih fleksibel dan mudah digunakan. “Ada fasilitas worklist. Sudah ada list pasien di depan layar, petugas tidak lagi harus mengecek satu per satu.
Kelebihan lainnya, mudah untuk diintegrasikan dengan sistem yang tidak sama, misalnya dengan BPJS Kesehatan,” kata Junaidi.
Saat ini pun pihaknya sudah bisa mengintegrasikan dengan sistem di BPJS Kesehatan melalui web service. Pasien yang datang ke rumah sakit saat ini, tidak perlu didaftarkan secara fisik ke sistem di BPJS Kesehatan. Karena kedua sistem ini sudah terkoneksi secara otomatis.
Untuk mengintegrasikan data kependudukan, pihaknya juga berkerja sama dengan Dirjen Dukcapil Kemendagri.
Saat ini sedang dalam proses pembuatan perjanjian kerja sama (PKS) antara pemerintah Aceh dengan Dirjen Dukcapil.
Melalui kerja sama dengan Kemendagri, pada saat pasien melakukan registrasi, hanya membutuhkan NIK dan nomor KK. Datanya langsung diambil dari sistem Kemendagri. Dengan data yang terintegrasi ini pula, tidak akan ada peluang pasien salah menginput data.
Selanjutnya, kata Junaidi, ke depan direncanakan membuat single identity untuk pasien. Juga ada kemungkinan memakai sidik jari sebagai pengganti KTP. Secara teknis pihaknya siap melakukan.
Terkait dengan rencana mengintegrasikan data dengan server di Kemendagri, kata Junaidi, RSUDZA sudah memiliki segala peralatan yang mendukung paket integrasi sistem tersebut.
Selain itu, dengan adanya bantuan koneksi dari Dinas Komunikasi Informatika dan Persandian (Diskominsa) Aceh, RSUDZA sangat terbantu. “Diskominsa yang akan memfasilitasi koneksi VPN dari rumah sakit ke server di Kemendagri. Mereka yang akan menyediakan jaringannya,” kata Junaidi.
Terkait maintenance berbagai peralatan, kata Junaidi, sudah dilakukan sebagaimana yang seharusnya. Pihaknya selalu memonitor peak time (jam puncak pemakaian). Work load pada saat peak time berapa persen dari kemampuan server, menjadi salah satu aspek yang dimonitor. “Jika suatu saat dinilai perlu penambahan peralatan baru , maka kita akan menambah server untuk membagi beban kerja . Selama ini aman-aman saja. Kalau gangguan minor itu pasti ada.Toh, semua sistem di dunia ini juga tidak ada yang perfect. Itu sebabnya selalu terus dikembangkan dan diperbaharui,” tandas Sarjana Teknik Informatika ini.
Begitupun, kata Junaidi, dalam beberapa tahun terakhir pihaknya lebih mudah menangani perbaikan sistem.
Hal ini karena aplikasi tersebut merupakan ciptaan sendiri, bukan lagi dimiliki pihak luar sebagaimana halnya beberapa tahun silam. “Kalau ada gangguan minor, langsung ditangani oleh tim IT kami. Karena aplikasinya dibuat sendiri, maka kita mudah untuk memperbaikinya. Inilah kelebihan sistem yang dibuat sendiri.
Dulu kita sulit. Ketika butuh pembaruan di sistem atau ada perbedaan cara kerja yang harus diadopsi ke dalam sistem, kita harus menghubungi dulu vendor,” tandasnya.
Bukan cuma itu. Saat ini Tim RSUDZA juga mengembangkan aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh orang gizi, sehingga bisa menyesuaikan diet pasien itu dengan penyakit. Misalnya pasien DM, itu berarti harus diet gula.
Bed Information System pun sudah tersedia. Aplikasi ini menginformasikan jumlah bed pasien yang terpakai dan kondisi ruangan secara real time. Petugas cukup melihat di layar komputer atau ponsel untuk memastikan jumlah dan kapasitas tempat tidur yang masih tersedia.
Selain itu, ada pula e-farmasi, yang memungkinkan komunikasi online dokter dengan petugas di bidang kefarmasian dalam meresepkan obat.
Semua sistem informasi di atas dikembangkan sendiri oleh bagian IT RSUDZA sejak tahun 2015. “Walaupun belum 100 persen, karena memang butuh waktu. Saat ini, dari semua kebutuhan aplikasi, 70-80 persen sudah bisa dipenuhi sendiri,” tandas pria yang sudah mengabdi di RSUDZA sejak tahun 2004 ini.
Sementara itu aplikasi yang pernah dibuat pihak ketiga, tetap saja masih ada sebagian kecil yang digunakan, karena memang masih relevan.
Terkait dengan registrasi online, RSUDZA berkoordinasi dengan Diskominsa. Jadi, hostingnya untuk versi WEB di Acehprov.go.id, yang ada di Diskominsa. Sedangkan yang versi mobilenya langsung bisa didownload di google playstore.
Junaidi berharap jajaran IT yang kini memiliki 15 personel juga terus di-upgrade ilmunya sehingga sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.(sk)