Anemia pada anak

PENDAHULUAN

ANEMIA defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh. Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja puteri.

Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%. Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk menggantikan zat besiyang hilang dari tubuh dan untuk pertumbuhan ini bervariasi tergantung dari umur dan jenis kelamin. Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil dan menyusui. Oleh karena itu kelompok tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam jangka panjang.

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai terutama di negara Negara tropik. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangatmerugikan serta dampak sosial yang cukup serius.

ETIOLOGI

Bayi kurang dari 1 tahun

1. Cadangan besi kurang, a.l. karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir kembar, ASI ekslusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.

2. Alergi protein susu sapi Anak umur 1-2 tahun

1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum susu murni berlebih.

2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis.

4. Malabsorbsi.

Anak umur 2-5 tahun

1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis heme atau minum susu berlebihan.

2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang / kronis baik bakteri, virus ataupun parasit).

4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan (divertikulum Meckel / poliposis dsb).

Anak umur 5 tahun-remaja

1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan( a.l infestasi cacing tambang) dan

2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu penurunan kadar feritin/ saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan konversi tiroksin menjadi triodoti- roksin. Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB.

Anak yang menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB.

Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis anemia defisiensi besi perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah rutin sepeti Hb, PCV, leukosit, trombosit ditambah dengan pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, Total iron binding capacity (TIBC), status transferrin, FEP, ferritin dan apus sumsum tulang. Bila sarana dan biaya terbatas, diagnosis kemungkinan ADB ditegakkan hanya berdasarkan adanya riwayat faktor predisposisi dan faktor penyebab, pada pemeriksaan fisis terdapat pucat tanpa perdarahan atau organomegali, gambaran eritrosit mikrositik hipokrom dan responsive terhadap pemberian zat besi.

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis ADB yang ditandai dengan sejajarnya penurunan nilai indeks MCV, MCH dan MCHC dengan penurunan kadar Hb. Pada gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokrom, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis.

Jumlah leukosit biasanya normal tetapi pada ADB yang berlangsung lama biasanya dapat terjadi granulasitopenia. Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan TIBC meningkat. Perbandingan antara Fe seru dan TIBC yang dapat diperoleh dengan cara menghitung Fe serum/TIBC x 100% merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar ferritin serum.

Bila kadar ferritin kurang dari 10-12 ug/l menunjukkan telah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh. Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB: a. Kriteria diagnosis ADB menurut WHO: • Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia • Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal: 32-35%) • Kadar Fe serum< 50 Ug/dl (Normal: 80-180 ug/dl) • Saturasi transferrin < 15% (Normal: 20-50%) b. Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen (diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria ST, ferritin serum dan FEP): • Anemia hipokrom dan mikrositik • Saturasi trasnferin < 16% • Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit • Kadar ferritin serum < 12 ug/dl c.

Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui: • Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun. Red cell distribution width (RDW) > 17% • FEP meningkat • Ferritin serum menurun • Fe serum menurun, TIBC meningkat ST < 16% • Respon terhadap pemberian preparat besi • Sumsum tulang: tertundanya maturasi sitoplasma, pada pewarnaan susmsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang Diagnosis Banding Anemia defisiensi besi, talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis Diagnosis banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia hipokrom mikrositik lain.

Keadaan yang sering memberikan gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV.

Cara mudah dapat diperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < 13 menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor didapatkan basophilic suppling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar HbA2. Gambaran morfologi darah anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom normositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin normal atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin/transferin receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun. Peningkatan rasio TfR/ferritin sensitif dalam mendeteksi ADB.

TATALAKSANA

Pengobatan anemia besi yang digunakan saat ini adalah preparat besi oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat, dan lain-lain) dengan dosis pada bayi dan anak-anak sebanyak 3-6 mg/ kgBB/hari dibagi dalam dua dosis. Garam fero dianjurkan dikonsumsi sebelum sarapan dan makan malam agar penyerapan besi dapat terjadi lebih optimal.

Pemberian setelah makan dapat menghambat penyerapan sebanyak 40-50%. Efek samping pemberian pada saat perut kosong berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, sehingga .Pengukuran hemoglobin dilakukan setelah satu bulan pemberian preparat besi oral, dimana diharapkan hemoglobin sudah terkoreksi sepertiga atau dua pertiganya. Nilai normal hemoglobin tercapai dalam 1-3 bulan setelah pengobatan. Untuk mencegah terjadinya kelebihan kadar hemoglobin yang dapat menyebabkan keracunan, pengobatan tidak boleh lebih dari 5 bulan. Pemberian zat besi dalam bentuk intramuscular atau intravascular dapat diberikan pada keadaan tertentu dimana pemberian secara oral tidak memberikan respon yang diharapkan seperti pada keadaan pasien tidak bisa menerima secara oral, kehilangan besi yang cepat, atau gangguan penyerapan pada usus.

Zat besi dalam makanan tersedia dalam dua bentuk yaitu zat besi Fe-heme dan non-heme.Besi non-heme terdapat dalam makanan seperti beras, bayam, gandung, jagung, kacang kedelai, dan lain-lain. Zat besi non-heme berbentuk senyawa ferri yang harus diubah menjadi ferro oleh HCl di lambung untuk dapat diserap oleh usus. Sementara zat besi dalam bentuk heme terdapat pada makanan seperti daging, ikan, hati, dan lain-lain yang lebih mudah diserap oleh usus.ANJURAN Anemia defisiensi besi merupakan sebuah persoalan yang harus mendapat perhatian secara khusus terutama pada anak usia 0-5 tahun. Kekurangan zat besi pada anak dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan berdampak buruk pada masa depan. Pemberian makanan bergizi seimbang dapat mencegah terjadinya anemia pada anak. Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) disarankan untuk dilakukan mulai usia 2 tahun dan selanjutnya setiap tahun sampai anak remaja. Apabila ditemukan hasil anemia dari pemeriksaan maka disarankan untuk dicari penyebabnya dan bila perlu dirujuk. IDAI merekomendasikan pemberian suplemen besi oral kepada semua kelompok usia anak dengan prioritas usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun sampai usia 18 tahun, dan beberapa kelompok rentan lainnya sebagai pencegahan anemia defisiensi besi. Dosis besi elemental yang diberikan disesuaikan dengan kelompok usia yang dapat dilihat pada Rekomendasi IDAI Suplementasi Besi untuk Anak. Orang tua juga diharapkan dapat mengenali tanda-tanda anemia pada anak sehingga pengobatan dapat dimulai seawall mungkin.

PENUTUP

Anemia pada anak memiliki dampak yang buruk terhadap kualitas hidup. Anak usia balita (0-5 tahun) merupakan kelompok usia yang paling tinggi mengalami anemia. Kekurangan besi dengan atau tanpa anemia yang terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan dapat menimbulkan defek pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan otak yang berdampak negative terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang. Peran aktif masyarakat, tenaga kesehatan, dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menurunkan angka kejadian anemia.

Oleh: dr. Eka Destianti.Sp.A