Pelayanan Bedah Anak Lebih Spesifik
ANAK bukanlah miniatur orang dewasa. Mereka juga bukan dewasa yang kecil, sehingga secara anatomi dan fisiologi tubuh pasti akan berbeda dengan orang dewasa. Inilah filosofi yang dianut dokter bedah anak di berbagai belahan dunia. “Contohnya, pada orang dewasa kita bisa bertanya bapak sakit apa. Sedangkan anak-anak hanya bisa menangis. Sehingga sangat penting peran orangtua dan skill si dokter untuk melakukan intervensi kira-kira ke arah mana sakitnya,” tandas Ahli Bedah Anak dr. Teuku Yusriadi, Sp.BA kepada tabloid RSUDZA Lam Haba di Poliklinik Bedah Anak, RSUDZA, pekan lalu.
Apalagi kelainan yang diderita anak baru lahir, kata Yusriadi, jauh lebih sulit mengintervensi dibandingkan dengan orang dewasa. Tubuh yang mungil, sebagiannya bahkan lahir prematur, mengalami kelainan usus dan jantung pula. Itulah sebabnya jauh lebih kompleks menangani anak-anak dibandingkan orang dewasa. “Namun, alhamdulillah, berkat fasilitas dan SDM yang kita miliki, tingkat keberhasilan 96-97 persen,” tandas Ahli Bedah Anak ini.
Dijelaskan, ranah bedah anak terdiri atas anak dengan usia 0-18 tahun sesuai dengan ketentuan WHO. Pelayanan-pelayanan di bedah anak lebih spesifik, antara lain menangani kelainan bawaan, anak lahir cacat secara anatomi. Di luar itu, bedah anak juga melakukan tindakan pada anakanak karena kelainan akibat infeksi, misalnya usus buntu, kelainan usus yang pecah, trauma karena jatuh dari sepedamotor. Secara urologi anak-anak yang lahir tidak bisa buang air kecil secara normal juga bagian dari ranah bedah anak.
Selain itu, kata Yusriadi, pihaknya juga menangani anakanak yang memiliki tumor di dalam perut atau organ lain. Sebagian pasien merupakan rujukan dari poliklinik Anak. Kasus-kasus bedah anak dari waktu ke waktu juga meningkat jumlahnya. Jika di tahuntahun 2005-2006 kasus-kasus bayi lahir tanpa usus sangat jarang, kini justru meningkat drastis. “Ada satu fenomena yang saya lihat bahwa pada tahun 2005 dan 2006 kasus-kasus kelainan bawaan pada anak , misalnya kasus atresia ani, yakni anak yang lahir tanpa anus, itu jumlahnya selama dua tahun saya pendidikan hanya satu kasus. Namun kini, bisa 7 kasus per bulan,” katanya.
Begitupun, Yusriadi mengaku tidak tahu apa penyebab pastinya. Boleh jadi pula karena saat itu belum ada dokter spesialis bedah anak, sehingga orangtua mengobatinya keluar Aceh seperti Medan atau Penang. Namun, dugaan dibawa keluar Aceh memang kurang kuat. Maklum saja, apalagi saat itu belum ada program berobat gratis. Kecil kemungkinan dibawa ke Medan apalagi Penang, khususnya jika penderitanya dari keluarga tidak mampu.
“Saya berpikir akumulasi ini berkorelasi positif dengan perubahan pola hidup masyarakat saat ini, yang cenderung mengonsumi bahan makanan berpengawet,” paparnya. Dalam tiga bulan terakhir, kasus atresia ani juga cenderung meningkat. “Bayi yang lahir tanpa anus, untuk bulan September saja mencapai tiga kasus,” katanya. Bukan hanya lahir tanpa anus, kasus kelainan hirschsprung, yakni bayi yang lahir dengan kelainan persarafan di usus bagian bawah, angkanya juga terus meningkat, terutama yang dirawat di RSUDZA.
Nah, diduga kelainan bawaan ini tidak terlepas dengan proses di dalam rahim ibu sampai dia lahir. “Salah satu penyebabnya, saat hamil kemungkinan mengonsumi makananmakanan yang mengandung formalin atau antibiotik tanpa kontrol dokter. Secara tidak langsung akan mempengaruhi janin yang dikandung,” kata Yusriadi.( sk)