Kemampuan Setara Luar Negeri, Care Harus Ditingkatkan Lagi
BIDANG Keperawatan di RSUDZA memiliki tugas pokok, antara lain melakukan bimbingan askep, penerapan etika, pengembangan profesi, dan pengendalian mutu keperawatan. Kepala Bidang (Kabid) Keperawatan RSUDZA, Ns Zuraini Miz, S.Kep juga memiliki tugas khusus sebagai Koordinator Pelayanan pada Seksi Ketenagaan dan Etika Profesi, serta Pelayanan pada Seksi Asuhan Keperawatan. Ditemui kru tabloid RSUDZA Lam Haba di ruangannya pekan lalu, Zuraini menjelaskan panjang lebar peran perawat dewasa ini yang harus menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Dikatakan, seorang perawat harus memiliki kemampuan perawatan dasar dan perawatan lanjutan. Perawatan dasar seperti memandikan dan menyuapi pasien. Perawatan lanjutan berkaitan dengan tindakan khusus di bidang masing-masing, misalnya di ICCU dan kamar operasi. “Perawatan lanjutan ini diproleh setelah dilatih, baik in house training mau pun out house training,” kata Kepala Bidang Keperawatan RSUDZA ini. Saat ini jumlah perawat di RSUDZA mencapai 1.112, khusus di bagian pelayanan. Namun, jumlah perawat riilnya lebih besar dari itu jika termasuk yang ditempatkan di bagian administrasi.
Penerapan etika terkait dengan pembinaan pegawai, dimana pihaknya harus bekerja sama dengan komite keperawatan. Setiap kali ada perawat yang bermasalah, pihaknya melaporkan kepada komite keperawatan. “Biasanya, perawat yang bersangkutan akan di panggil atau dikredensial ulang. Ada pula bimbingan etika agar mereka lebih disiplin lagi dalam bekerja”, tandas perempuan yang sudah 37 tahun bekerja sebagai PNS di rumah sakit. Diakuinya, dengan jumlah perawat yang lebih dari angka 1.000, memang ada saja yang bermasalah. Ada saja yang kurang disiplin dalam bekerja. Namun, proses pembinaannya bertahap, mulai dari teguran lisan hingga tulisan. Pihaknya tidak akan mengeluarkan mereka tersebut secara semena-mena, sekalipun yang bersangkutan pegawai bakti atau kontrak. Dalam praktiknya, bagian keperawatan akan men cari tahu terlebih dahulu apa penyebab perawat yang bersangkutan kurang disiplin dalam melaksanakan tugas. “Jika tak bisa lagi bekerja dimana dia ditempatkan, mereka akan mengembalikan ke kita, lalu kita bisa membina kembali,” tandasnya. Dijelaskan, yang lebih tahu kapasitas perawat adalah kepala ruang, karena mereka sebagai user dari perawat itu sendiri.
Bagian profesi berkaitan dengan upaya pemberian pelatihan untuk meningkatkan kapasitas. Diakui oleh Zuraini, tak semua pegawai memang bisa mengecapkan pelatihan setiap tahun. Namun, semua akan dapat secara bergilir, khususnya pelatihan yang berlangsung di RSUDZA. Sedangkan berbagai pelatihan yang diadakan di luar Aceh, pihaknya harus memilih, sesuai dengan prioritas kebutuhan dan budget yang dimiliki rumah sakit. Di antara 1.000 lebih perawat, mereka punya beragam kompetensi. Misalnya saja perawat cath lab, endoskopi, kamar bedah, yang harus punya keterampilan khusus. Sementara perawat di ruangan, setidaknya harus memiliki ‘ilmu dasar’ yakni basic life support atau bantuan hidup dasar. “Apalagi di ICCU, bedah jantung, kamar operasi, mereka punya kekhususan masing-masing. Ada bagian orthopedi, digestif, laparoskopi, dan sebagainya,” katanya. Pelatihan tersebut tidak hanya dilakukan rumah sakit, organisasi tempat mereka berhimpun pun kerap mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi mereka dan dalam rangka pengembangan profesi.
Terkait pelaksanaan JCI, kompetensi perawat merupakan salah satu persyaratan. Akan tetapi, menurut Zuraini, akreditasi internasional ini bagi RSUDZA tidak terlalu sulit untuk meraihnya. Soalnya, rumah sakit milik pemerintah Aceh ini tidak memulai dari nol lagi. “Tinggal melanjutkan saja, kita kan sudah lulus paripurna KARS. Sebagian besar JCI dengan KARS sama. Cuma, karena ini standar internasional, tentu lebih ketat dan detail lagi penilaiannya,” kata Zuraini. Sementara jumlah perawat saat ini sudah memadai, apalagi bidan, sudah sedikit melebihi dari kebutuhan. Soalnya, kebutuhan bidan di rumah sakit memang terbatas. Mereka justru lebih banyak dibutuhkan di Puskesmas. Zuraini mengaku RSUDZA tidak kalah dengan rumah sakit internasional lainnya di mancanegara. Sebagai perawat yang pernah bekerja tiga tahun di Brunei Darussalam dan Jepang, serta pelatihan di berbagai negera seperti Singapura, Zuraini merasa tidak ada yang kurang dengan rumah sakit milik pemerintah Aceh ini. “Kalau gedung dan alat tidak ada yang beda dengan luar negeri, caring kita yang masih kurang. Ini kultur kita juga. Namun, kini sudah jauh berbeda, banyak kemajuan di rumah sakit ini,” tandas perempuan yang pernah setahun training di rumah sakit Singapura. Kemajuan di rumah sakit ini juga tidak lepas dari pemberian reward dan punishment. Mereka yang berpres tasi akan mendapatkan apresiasi, sementara yang melanggar aturan akan mendapatkan sanksi. “Mereka yang mengecewakan pasien akan dipanggil dan ditegur sesuai dengan tahapan pembinaan dari rumah sakit,” tandas perempuan ramah ini. (sk)