Perawat di Garda Terdepan Pelayanan
PERAWAT di Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh saat ini berasal dari berbagai latar belakang strata pendidikan. Mulai dari jenjang DIII, DIV, S1 dan S2. Wakil Direktur (Wadir) Pelayanan Medis RSUDZA Banda Aceh, Dr dr Azharuddin SpOT(K) Spine FICS, menyampaikan sebagai rumah sakit pusat rujukan utama di Provinsi Aceh, RSUDZA tentu harus didukung juga oleh perawat yang profesional. Hal itu dibuktikan dengan kompetensi dimiliki setiap individu yang bekerja di bidang pelayanan keperawatan. Sebagaimana ketentuan berlaku, kata dr Azharuddin, setiap lulusan perawat atau pendidikan profesi Ners, harus ikut uji kompetensi. Setelah lulus mengajukan Surat Tanda Registrasi (STR) agar dapat bekerja menjadi seorang perawat. “Sama seperti halnya bagi seorang dokter, harus menjalani koas atau magang di rumah sakit untuk mendapatkan gelar dokter. Begitu juga dengan Ners. Jadi, kompetensi yang dimiliki seorang perawat sudah dimiliki sejak ia dinyatakan lulus mengikuti pendidikan.
Perawat juga memiliki lembaga kolegium untuk mendapatkan sertifikasi. Saat ini, ada beberapa jenis lembaga kolegium keperawatan di Indonesia, seperti kolegium keperawatan anak, kolegium keperawatan maternitas, kolegium keperawatan jiwa, kolegium keperawatan medikal bedah, kolegium ke pe rawatan komunitas, kole gium kepemimpinan dan manajemen keperawatan, kolegium keperawatan onkologi, dan kolegium keperawatan kardiovaskuler. Setelah itu, ada lagi kompetensi tambahan. Misalnya bagi perawat ahli di bagian intensif, ada yang ahli di kamar operasi, ada yang jagonya di Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Pediatric Intensive Care Unit (PICU) dan ahli di cardiac atau jantung. Selain itu ada perawat yang ahli di endoscopy, ada juga yang ahli di Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) tembak batu ginjal. Ada yang juga mahir bidang hemodialisa (HB). “Jadi untuk itu semua ada pendidikan tambahan. Ners itu juga ada perhimpunan. Keperawatan di Indonesia sangat berkembang dengan pesat,” terang dokter Azharuddin. Untuk di RSUDZA, manajemen secara bertahap tentunya memberikan pendidikan tambahan kepada para perawat. Bentuknya ada inhouse training, kalau memang pesertanya ramai, maka dilaksanakan di Banda Aceh. Kemudian ada juga yang ikut workshop ke luar, seperti ke Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Seperti beberapa waktu lalu dikirim ke sana untuk melihat dan belajar penanganan transplantasi ginjal.
Keahlian dimiliki satu perawat dengan perawat lain tentu berbeda, seperti ada yang mahir di kamar operasi khusus di bidang tertentu, seperti transplantasi ginjal dan operasi jantung terpadu. RSUDZA bahkan pernah mengirim perawat hingga ke luar negeri, seperti India dan Norwegia. Bahkan ada beberapa kali dikirim ke sana, khususnya perawat di kamar operasi dan di ruang ICU. “Mereka dikirim untuk belajar dan update ilmu. Tambah wawasan dan networking,” sebutnya.
Untuk saat ini, kata dokter Azharuddin, memang sangat dibutuhkan perawat perawat dengan kompetensi yang tinggi. Masyarakat akan memberikan apresiasi kalau paramedis di sebuah rumah sakit dapat memberikan pelayanan terbaik. Isu terkini adalah patient safety dan pelayanan bermutu. Seorang perawat, harus dapat memberikan pelayanan yang professional karena hampir 24 jam bersama pasien. Sedangkan dokter atau dokter ahli mungkin seperlunya saja. Dalam satu hari visiter atau mengunjungi pasien satu pasien yang dirawat inap sekitar 10 sampai 15 menit. Akan tetapi, yang berada 24 jam bersama pasien adalah perawat. Dr dr Azharuddin melanjutkan, status perawat bekerja di RSUDZA bervariasi, ada yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), ada tenaga kontrak dan juga tenaga bakti. Penggunaan tenaga kontrak dan bakti, kata dokter Azharuddin, dilakukan karena adanya kebijakan moratorium CPNS. Mengingat RSUDZA membutuhkan SDM, maka direkrut tenaga kontrak dan bakti. Apalagi saat ini rumah sakit plat merah milik Pemerintah Aceh itu sudah memiliki 750 tempat tidur. “Kalau kita lihat pada jumlah sekarang, dari sisi sampai memakai tenaga bakti, artinya masih sangat butuh. Cuma karena kemampuan pemerintah daerah dan rumah sakit belum memungkinkan untuk semuanya dikontrak, makanya ada sejumlah kondisi bakti,” terangnya. (sl)