PPNI Consern Pertahankan Kualitas Perawat

SAAT ini RSUDZA memiliki kurang lebih 2.400 pegawai, dari jumlah tersebut lebih kurang 1.400 di antaranya merupakan perawat. Dengan jumlah perawat sebesar itu, maka peran mereka sangatlah vital dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketua Komisariat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) RSUDZA Banda Aceh Masli Yuzar, S.Kep, Ners mengatakan, tahun 2014 adalah tahun bersejarah bagi profesi perawat karena lahirnya UU No 38 yang mengatur tentang keperawatan. Setelah UU tersebut lahir maka semua aturan dan kebijakan terkait bidang keperawatan harus mengacu kepada Undang­-undang Nomor 38 tahun 2014. Dengan lahirnya undang­-undang tersebut maka profesi perawat sudah diakui perannya dalam lingkup tenaga kesehatan baik sebagai akademisi, peneliti, perawat klinisi, dan lain sebagaimya. “Sebagai klinisi atau praktisi,  perawat berperan sebagai perawat pelaksana yang memberi pelayanan langsung kepada pasien  di rumah sakit, puskesmas, klinik, dan lainnya.” tandas Masli Yuzar kepada kru RSUDZA LamHaba yang ditemui disela­sela pelatihan di gedung Diklat RSUDZA, pekan lalu.

Dikatakan, setelah berlakunya UU Nomor 38 Tahun 2014 yang mengatur tentang keperawatan,  Dewan Pengurus Pusat (DPP) PPNI membuat Pedoman Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) tahun 2016.   Di PKB ini,  PPNI  mengatur bagaimana seseorang menjadi perawat yang berkualitas  sesuai tuntutan zaman yang semakin modern. Nah, terkait dengan perawat yang berkerja di rumah sakit, khususnya RSUDZA,  ada dua sistem pendidikan  yang harus ditempuh seorang perawat,  yakni  pendidikan formal  dan pendidikan non­formal.  Masli  menyontohkan pera wat berpendidikan Program Diploma III atau Diploma IV, yang sekarang bisa dilanjutkan ke strata satu plus Ners. “Bisa dilanjutkan sampai ke magister keperawatan bahkan program doktoral.

Inilah pendidikan formal yang kita arahkan sesuai dengan UU Keperawatan dan PKB tahun 2016,” katanya. Sedangkan yang nonformal, antara lain  seperti kursus, shourt course dengan jangka waktu bervariasi, mulai dari seminggu,  tiga bulan hingga setahun. Dengan demikian diharapkan perawat­-perawat  di RSUDZA dapat memberi pelayanan bermutu dan berkualitas dengan menjaga prinsip­prinsip patient safety serta membantu mencapai visi­misi rumah sakit dalam hal pelayanan kepada pasien. Terkait kredensial perawat, berdasarkan PMK No. 40 2017, harus dilakukan bertahap oleh komite keperawatan kepada perawat yang sudah bekerja di rumah sakit melalui proses rekredensial dan kewenangan klinisnya diberikan berjenjang dari PK­I sampai PK­V sesuai kompetensi yang dimilikinya.  SKnya ditandatangani oleh direktur.

Kemudian kredensial perawat juga mestinya dilakukan setiap ada kebutuhan tenaga perawat baru di rumah sakit, dalam hal ini manajemen rumah sakit bekerja sama dengan komite keperawatan dan  bidang keperawatan  dalam merekrut tenaga perawat baru. Di sinilah peran komite keperawatan yang vital dalam rekrutmen  seorang perawat agar yang masuk adalah perawat yang siap pakai. “Jadi, se tiap perawat yang masuk, harus dikredensial oleh komite keperawatan, baru kemudian bisa bekerja di rumah sakit. Beginilah standarnya, meskipun yang ada sekarang belum  sesempurna itu,” katanya. Banyak tahapan riil yang harus dilalui dalam mengikuti proses  kredensial, misalnya perawat yang baru lulus tes masuk ke rumah sakit, sebelumnya harus magang  di empat area pelayan di rumah sakit (anak, maternitas, medical, bedah).  Setelah melalui proses kredensial dan dinyatakan lulus, baru perawat yang bersangkutan diberi kewenangan klinis Pra­PK untuk memegang pasien di bawah pengawasan perawat yang lebih senior. Masli Yuzar mengakui bahwa   banyak perawat yang kompetensinya masih belum optimal. Akan tetapi, manajemen RSUDZA sendiri  terus konsisten dengan berbagai program untuk meningkatkan kemampuan mereka, yang antara lain dengan mengikuti pelatihan serta short course, baik di Aceh maupun luar Aceh bahkan sampai keluar negeri. “Terkait kompetensi perawatnya, PPNI sendiri sebagai organisasi profesi sangat concern mempertahankaan kualitas seorang perawat untuk bekerja di sebuah rumah sakit. Kita berprinsip pasien itu harus  dipegang oleh perawat yang terampil dan  ahli. Kita harus cermati bahwa pelayanan terbaik hanya bisa diberikan oleh mereka yang terbaik,” tandasnya. Menyangkut tupoksi antara perawat dan dokter,  kata Masli Yuzar, saat ini  masih menjadi problematika keperawatan di seluruh Indonesia.

Oleh karena perawat bermitra dengan dokter, ada semacam area abu-­abu antara kewenangan perawat dan kewenangan dokter, juga kewenangan dokter yang bisa dikerjakan oleh perawat terutama berkaitan dengan keadaan darurat atau life­saving dan harus disadari ini merupakan potensi masalah untuk perawat dan juga untuk rumah sakit yang bisa jadi bom waktu kapan saja.  “Sebenarnya ke depan kita berharap adanya kewenangan yang jelas, mana kewenangan dokter yang memang boleh dikerjakan oleh perawat dan dilakukan sesuai regulasi yang dibuat rumah sakit, misalnya melalui SOP”. Pelimpahan wewenang dari dokter kepada perawat sebenarnya sah­sah saja asalkan perawat yang bersangkutan  berkompeten  untuk tugas tersebut. Hal  ini bisa dilakukan dengan dua cara; Pertama,   dengan cara pemberian mandat. Kedua, dengan cara pemberian delegasi sebagaimana sudah diatur dalam UU keperawatan atau mekanisme yang diatur dalam UU praktik kedokteran. Dijelaskan, jika dua persoalan di atas clear, maka perawat akan merasa aman  dalam bekerja, karena  akan dilindungi oleh regulasi.  “Jadi, harapan kita, pelimpahan wewenang dari dokter ke perawat bisa dilakukan dengan cara­cara yang aman sesuai  undang­undang, sehingga perawat  aman, pasien aman, dan rumah sakit pun aman,” tandas pria yang menjadi Ketua divisi hukum di HIPERCCI Aceh (Himpunan Perawat Critical Care Indonesia).

Dalam menyongsong akreditasi JCI (joint commission of international),  sudah banyak dibentuk himpunan perawat yang  seminat di PPNI. Untuk perawat di ICU bisa bergabung dengan HIPERCCI, di kamar operasi ada HIPKABI, IPOTI, di UGD ada HIPGABI, di haemodialisa dengan IPD, HIPPII untuk perawat pengendali infeksi, dan himpunan lain yang seminat. “ Untuk membantu rumah sakit mencapai predikat JCI, perawat harus siap dengan perannya yang profesional dan mereka harus fokus pada satu bidang agar profesionalismenya terjaga. Oleh karena itulah, mareka harus dekat dengan PPNI dan himpunannya, “ katanya.  Selain itu, RSUDZA juga sudah menyiapkan trainer­trainer perawat yang punya nilai plus dalam menunjang akreditasi JCI. Meskipun jumlah perawat di RSUDZA   sangat mayoritas, namun  Masli Yuzar  me nyayangkan  karena  banyak  dari mereka  yang tidak termotivasi melanjutkan pendidikan magister keperawatan  yang spe sialistik. Padahal Spesialis Keperawatan begitu vital peran nya sebagai supervisor dalam menciptakan pelayanan kepera watan bermutu dan berkualitas serta safety untuk seluruh pasien yang dirawat di RSUDZA.  “Misalnya kalau di bagian  bedah, dia harus ambil Magister Keperawatan, spesialisasinya  ke perawatan medikal  bedah. Di ICU,  spesialisasinya ke Criti cal Care, di IGD spesialisasinya ke Emergency Nursing”, katanya.  Dirinya berharap ke depan RSUDZA bisa memfasilitasi perawat yang punya kemampuan dan minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang  perawat spesialis. (sk)