Mengenal Lebih Jauh Tentang Dispepsia
I. Pendahuluan
Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik seharihari, dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang, mulai dari semua gejala yang berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai dieksklusinya gejala refluks hingga definisi terkini yang mengacu kepada kriteria Roma III.
Dispepsia dalam tatalaksana harus dibedakan antara yang belum diinvestigasi (uninvestigated dyspepsia) dan yang telah diinvestigasi (investigated dispepsia). Jika telah diinvestigasi, istilah dispepsia harus diikuti oleh penyebabnya, misalnya karena ulkus lambung. Bila tidak ditemukan adanya kelainan organik yang mendasari keluhan dispepsia, maka disebut dispepsia fungsional. Selain dari lambung, beberapa faktor penyebab yang bisa memunculkan keluhan dispepsia diantaranya dari organ jantung, hati, kantong empedu, pankreas, usus besar/halus, OAINS dan lainlain.
Infeksi Helicobacter pylori (Hp) saat ini dipandang sebagai salah satu faktor penting dalam menangani dispepsia, baik organik maupun fungsional. Sehingga pembahasan mengenai dispepsia perlu dihubungkan dengan penanganan infeksi Hp.
Berbagai studi metaanalisis menunjukkan adanya hubungan antara infeksi Hp dengan penyakit gastroduodenal yang ditandai keluhan/gejala dispepsia.
Prevalensi infeksi Hp di Asia cukup tinggi, sehingga perlu diperhatikan dalam pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia. Eradikasi Hp telah terbukti efektif dalam menghilangkan gejala dispepsia organik, tetapi untuk dispepsia fungsional masih diperlukan penelitian lebih lanjut.
II. Definisi
Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas.
Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri ulu hati (epigastrium), rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.
Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
III. Epidemiologi
Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya, merupakan dispepsia fungsional.
Berdasarkan hasil penelitian di negaranegara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam), didapatkan 4379,5% pasien de ngan dispepsia adalah dispepsia fungsional.
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pa sien dispepsia dalam beberapa senter pendidikan di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus.
IV. Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Hp dan obatobatan antiinflamasi nonsteroid (OAINS) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktorfaktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.
V. Diagnosis Dispepsia
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia or ganik dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosif, gastritis, duodenitis dan proses keganasan.
Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III. Konsensus Asia Pasifik (2012) memutuskan, untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional.
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
– Nyeri epigastrium
– Rasa terbakar di epigastrium
– Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
– Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama 3 bulan terakhir dengan awitan gejala 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan.
Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastricpain syndrome dan postprandialdistress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam 2/3 pasien dispepsia.
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang datang dengan keluhan dispepsia.
Tanda bahaya (alarm symptom) pada dispepsia, yaitu: penurunan berat badan (unintended), disfagia progresif, muntah rekuren atau persisten, perdarahan saluran cerna, anemia, demam, massa daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung, dan dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun.
Pasienpasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi.
VI. Tata laksana
Tata laksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin.
Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.
VI.1. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1 – 4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya Hp.8,10 Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya ome prazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2Receptor Antagonist (H2RA), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebami pide), dimana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya.
Berikut ini adalah alur diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia, mulai dari dispepsia yang belum diinvestigasi hingga dispepsia yang sudah diinvestigasi di berbagai tingkat layanan kesehatan (gambar 1).
VI.2. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasienpasien dispepsia dengan tanda Bahaya tidak di berikan terapi empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi. Sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional. Pada dispepsia fungsional penatalaksanaannya dapat mengikuti algoritme tata laksana dispepsia fungsional berikut ini (gambar 2)
VI.2.1. Dispepsia organik.
Apabila ditemukan lesi mu kosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dis pepsia organik. Antara lain; gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan.
Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2×20 mg/ lanzoprazole 2×30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3×100 mg.
VI.2.2. Dispepsia fungsional
Apabila setelah investiga si dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.
Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan per baikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan per lambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional.
Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular.
VII. Kesimpulan
Penyebab utama dispepsia : Ulcus pepticum, GERD dengan atau tanpa esofagitis, keganasan, dan dispepsia fungsional atau non ulcus. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, dapat mengindentifikasi pasien dengan OAINS induced dispepsia dan GERD dan mereka dengan tanda bahaya / alarm. Pasien dengan usia di atas 45 atau pasien yang lebih muda dengan tanda bahaya / alarm, dengan new onset dispepsia.
Perlu diperhatikan akan adanya keganasan saluran cerna atas, maka endoskopi dini dapat diprioritaskan.
dr Azzaki Abubakar, SpPD.KGEH
SMF / Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Gastro Entero Hepatology
FK Universitas Syiah Kuala / RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh