Mantan Guru Ngaji yang Sulit Menahan Tangis

ROZIANA kecil tak pernah bercita-cita menjadi dokter. Sang ayah pun hanya berharap anak perempuannya itu menjadi orang yang berguna, apa pun profesinya.

Namun, perlahan tapi pasti, jalan terus menuntun anak seorang cekgu ini hingga menjadi salah seorang dokter spesialis yang amat dibutuhkan kaum hawa. “Kalau kita punya kemauan, selalu ada cara,” tutur dr. Roziana, M.Ked, Sp.OG mengawali wawancara khusus dengan kru tabloid RSUDZA Lam Haba di rumah sakit milik Pemerintah Aceh itu, pekan lalu. Sejak kecil Roziana sudah mandiri, ulet, dan selalu berusaha mendapatkan nilai lebih apa yang dikerjakannya. Disela-sela menjadi mahasiwa, dia pernah menjadi guru mengaji, bahkan menjadi staf pengajar di sebuah lembaga kursus terkenal di Aceh kala itu.

“Saya sudah mencari uang sendiri sejak SD,” kata perempuan yang bersuamikan seorang dokter spesialis bedah ini.

Ketika gurunya menyodorkan formulir Ujian Seleksi Masuk Universitas (USMU), Roziana memilih jurusan Teknologi Industri di Universitas Gajah Mada. Dan alhamdulillah, diterima sebagai calon mahasiswa UGM, tanpa tes. Namun, apa yang terjadi? Sang ayah tak rela anak kesayangannya itu jauh dari orangtua. Dia harus meninggalkan undangan resmi dari Universitas Gajah Mada itu. Sang orangtua berharap Roziana kuliah di Aceh saja.

Sebagai salah satu siswa yang berprestasi di SMAN 3 Banda Aceh, Roziana lantas memberanikan diri mendaftar di Universitas Syiah Kuala.

Dia memilih Fakultas Kedokteran melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).

Bersaing dengan ribuan mahasiswa lain dari seluruh Indonesia, Roziana akhirnya lolos. Dia diterima di Jurusan Pendidikan Dokter, yang merupakan salah satu jurusan favorit di Universitas Syiah Kuala. Setelah meraih gelar sarjana kedokteran, terbuka peluang mengajar di almamaternya. Alhamdulillah, pasca tsunami itu atau tepatnya tahun 2005, dia diterima sebagai dosen di Fakultas Kedokteran. Seperti juga pekerjaan apa pun, tantangan selalu datang dan silih berganti. Kali ini dari kampus yang memintanya untuk melanjutkan studi pascasarjana.

Gelar sarjana kedokteran jelas tidak memadai untuk membahani mahasiswa kedokteran. Dia kemudian memilih melanjutkan pendidikan ke Universitas Airlangga, Surabaya. Pendidikan master (M.Ked) ini diselesaikannya tahun 2010. Tak berhenti di situ, dia melanjutkan lagi ke Spesialis Kandungan di kampus yang sama hingga lulus tahun 2015.

Tahun 2016, Roziana dinotatugaskan ke RSUDZA. Semakin mendalam menggeluti dunia kandungan, Roziana semakin merasa bahwa ilmu yang dimilikinya amat terbatas. Apalagi trend penyakit juga terus berubah, sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Tuntutan masyarakat juga semakin tinggi. Temuan-temuan baru terus hadir, yang membuat diagnosa semakin akurat.

Itulah sebabnya, Roziana kembali melanjutkan pendidikan konsultan di bidang uroginikologi. “Saya memilih di UI, karena baru UI yang buka.

Mudah-mudahan lancar. Sudah tiga kali ujian saya ikuti, tinggal sekali lagi,” tandasnya. Ini adalah subspesialisasi yang menggabungkan urologi dan ginekologi untuk membantu wanita mengobati disfungsi dasar panggul. Di Aceh, banyak penyakit yang berkaitan dengan uroginekologi. “Misalnya mengurus bidang kelainan organ panggul, Itubiet boh itek dalam bahasa Aceh, kandungannya turun sampai ke bawah. Kemudian, ada orang yang tidak punya kelamin, tapi khusus pada perempuan, di Aceh banyak kasus ini,” tandasnya. Di Aceh, saat ini pun bidang yang satu ini masih ditangani dokter bedah plastik, khususnya untuk memperbaiki jalan lahir. Itu sebab, hadirnya dokter subspesialisasi bidang uroginikologi sangat penting.

Menjadi spesialisasi kandungan merupakan cita-citanya saat mulai terjun pada profesi dokter.

“Kita tahu bagaimana gerak-gerik menjadi dokter kandungan saat Coas di UI. Saya pas Coas saat tsunami. Kebetulan saya dikirim ke RSCM. Saat itu, kita melihat bagaimana profil, kinerja masing-masing departemen. Saya merasa bisa masuk pada permasalahan yang terkait dengan kewanitaan, misalnya hamil atau permasalahan lainnya. Saya merasa tertantang menjalani pendidikan ini,” katanya.

Sebagai seorang perempuan, Roziana merasa punya kepekaan lebih, rasa empati, cepat ‘ngeh’ apa yang dirasakan orang lain.

Naluri keibuannya mudah bangkit. Itu sebab dia merasa dokter spesialis kandungan merupakan profesi yang cocok untuk menolong kaumnya. “Saya termasuk orang yang sedikit cengeng sebetulnya. Sebenarnya seorang dokter harus bisa memilah antara empati dan simpati. Simpati membuat kita larut. Tapi, saya sendiri, kalau pasien meninggal saya menangis. Bayi meninggal saya juga menangis. Mungkin karena saya seorang perempuan. Ikut merasakan kesedihan orang,” kata Roziana.

Begitupun, Roziana bersama sang suami komit untuk tidak membawa persoalan di rumah sakit ke rumah.

Rumah harus menjadi tempat melepaskan kepenatan.

Data Diri
Nama : dr Roziana, M.Ked, Sp.OG
Lahir : 6 Juni 1982
Pendidikan:
– SMAN 3 Banda Aceh
– Fakultas Kedokteran Unsyiah
– Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
– Fakuiltas Kedokteran Universitas Indonesia
Organisasi:
– Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh
– Anggota Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Aceh
– Anggota International Urogynecological Association (IUGA)

Dokter teladan Roziana merupakan salah satu dokter teladan di RSUDZA tahun 2018. Dia terpilih sebagai dokter spesialis kandungan teladan.

Kedisiplinannya dalam bertugas menjadi salah satu parameter penilaiaan. “Saya merasa surprise sekali pada saat diajukan sebagai calon dokter teladan. Ada teman yang lain juga diajukan. Katanya, saya nyaris tidak pernah cuti. Kedua, sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh rumah sakit. Mungkin itu sebab terpilih,” katanya.

Dia bersaran, bagi siapa pun yang ingin meraih cita-cita untuk tidak gampang menyerah. Selalu ada cara atas setiap kemauan manusia. “Pantang menyerah.

Kita juga harus tahu sebatas mana kemampuan kita,” kata perempuan ini. Dia bahkan merasa tak mulus-mulus sekali menggapai semua prestasi itu, termasuk dalam meraih berbagai jenjang pendidikan. Sebagai anak seorang guru, kemampuan ekonominya biasa-biasa saja, bahkan tergolong ‘kelas bawah’ dibandingkan dengan kebanyakan temannya di fakultas kedokteran, yang umumnya datang dari keluarga ‘berduit’.

“Walaupun ditunjang beasiswa, yang namanya uang pasti tidak cukup. Intinya, kita sabar mencapai apa yang sudah kita yakini, tuntaskan,” kata perempuan ramah ini.(*)