Belajar pada Orang Sibuk
MENGATUR waktu merupakan keterampilan tersendiri. Hanya sedikit orang yang bisa mengatur waktu dengan baik. Dan, dr Raihan SpA, adalah satu di antara yang sedikit itu. Bagaimana tidak.
Sebagai Kabid Penelitian dan Pengembangan SDM di RSUDZA, kerja Bu Raihan tidak ringan, seperti juga bidang-bidang lainnya.
Dia bertanggung jawab terkait penelitian dan pengembangan SDM. Tugasnya, antara lain memetakan kebutuhan ketenagakerjaan, mengusulkan kompetensi yang diperlukan, memberikan masukan supaya staf ditempatkan sesuai bidang keilmuan.
Di luar tugas sebagai pejabat struktural, sebagai spesialis anak dr Raihan masih membuka praktik di rumahnya hingga larut malam. Dengan Sub Spesialis Konsultan Infeksi dan Penyakit Tropik, ilmu ini memang sangat dibutuhkan. Dia bahkan satu-satunya dokter anak dengan sub spesialisasi penyakit ini di RSUDZA.
Nah, pada saat yang sama, Raihan juga sedang menempuh program pendidikan doktor di Universitas Padjajaran Bandung. Tesisnya sedang disusun berkaitan dengan penyakit Malaria.
Lalu, bagaimana dia mengatur waktu dengan aktivitas seabrek itu? “Semakin kita sibuk, semakin pintar mengatur waktu,” kata Raihan seraya tersenyum lebar dalam wawancara khusus dengan kru Tabloid RSUDZA Lam Haba, pekan lalu. Namun, kata Raihan, kesibukan dirinya saat ini berbeda dengan beberapa tahun silam yang harus menuntaskan perkuliahan dengan jadwal yang padat dan jarak yang jauh. “Saat ini tinggal menyusun tesis, jadi berbeda dengan dulu,” tandas ibu dari lima putra-putri ini.
Kalaulah ingin belajar cara mengatur waktu yang baik, kata Raihan, belajarlah pada orang yang sibuk. Soalnya, mengatur waktu merupakan keterampilan tersendiri. Kesuksesan sebagian besar orang juga tergantung pada kemampuannya mengatur waktu dengan baik. “Semakin sibuk, semakin teratur biasanya,” tandasnya lagi.
Merangsang budaya riset Terkait bidang penelitian yang menjadi Tupoksinya, dinilai penting untuk merangsang budaya meneliti. Ada dua kategori, yakni yang dilakukan oleh pihak internal rumah sakit dan eksternal. Penelitian internal untuk memotivasi budaya meneliti di kalangan dokter, dokter spesialis, maupun staf lainnya di RSUDZA. Untuk eksternal biasanya melibatkan mahasiswa dan pihak-pihak lain.
“Untuk eksternal, kita sebagai lahan untuk penelitian mereka,” tandasnya.
Setiap tahun program disusun untuk menentukan bidang yang diteliti. Rata-rata terdapat 30 penelitian setiap tahun, baik oleh perawat maupun dokter spesialis. Dia menyontohkan mahasiswa Fakultas Kedokteran Unsyiah, yang kerap melakukan penelitian di rumah sakit milik Pemerintah Aceh ini. Intinya, sebelum pihaknya memberikan izin, proposal yang diusulkan harus masuk ke komite etik dan penelitian, supaya terjamin keselamatan pasien, profesi, dan etika penelitian.
Akan tetapi, kata Raihan, pe nelitian ini akan lebih bermanfaat jika dipublikasi oleh RSUDZA dalam jurnal khusus. Selama ini, apalagi penelitian yang dilakukan oleh pihak luar, tidak dilakukan publikasi.
“Terkait publikasi, memang sedang diupayakan. Direnca na kan, hasil penelitian dipublikasi dalam jurnal. Tahun ini ada 24 pe nelitian,” katanya.
Hot topic Saat ini kasus difteri menjadi hot topic di Aceh. Pasalnya, jumlah kasus difteri di Aceh merupakan nomor tiga terbesar di Indonesia.
Raihan mencatat, pada tahun 2017 terdapat 1.013 kasus difteri. Di tahun 2018 menurun menjadi 213 kasus. Tahun ini hingga posisi Mei tercatat 45 anak menderita dif teri. Diakui, dari jumlah kasus menga lami penurunan. Namun, mengingat cakupan imunisasi yang rendah, membuat Raihan wa swas jika sewaktu-waktu kasusnya memuncak kembali.
“Kemarin ada satu anak yang meninggal. Sudah komplikasi. Ada sumbatan di jalan napas. Ini pasien kiriman dari Aceh Utara. Umur dua tahun.
Lehernya harus dilubangi, sudah terjadi sumbatan jalan nafas.
Hari kedua meninggal. Dia datang sudah dalam keadaan berat,” tandas Raihan dengan rawut muka sedih.
Yang membuat dirinya semakin prihatin, difteri seperti halnya campak, merupakan penyakit yang bisa dicegah, yakni dengan imunisasi. Namun, mengingat jumlah anak yang diimunisasi di Aceh tak sesuai harapan, kasus-kasus gawat bisa muncul sewaktu-waktu. “Imunisasi ini salah satu ikhtiar untuk mencegah. Kalau sudah kena, kita tak bisa prediksi. Ini penyakit fatal.
Angka kematian se-Aceh sudah 6 anak. Komplikasi bisa ke jantung, ginjal, saraf, dan saluran nafas,” tandasnya.
Sejak memeriksa pasien pertama sekali tahun 2012, Raihan menemukan kasus-kasus dif teri, campak, yang diderita anak yang tak mendapatkan imunisasi. “Ya, sedih aja kita. Masih tinggi, sesuatu yang bisa kita cegah. Begitu sakit, campak seperti biasa, bisa menyebabkan kematian.” Menurut Raihan, Difteri lebih berat lagi, karena harus diiolasi sampai 14 hari.
Orangtua harus menghabiskan waktunya berpekan-pekan untuk merawat si bayi, dengan hasil yang tak bisa diprediksi. “Kita harus meninggalkan pekerjaan. Kita tidak tahu komplikasinya sampai fatal atau tidak.
Dia tidak bisa dirawat bersamaan dengan pasien yang lain,” katanya.
Saat ditanya apa yang memo tivasi dirinya menjadi dokter spesialis anak, Raihan mengaku sebagai perempuan dirinya lebih cocok menjadi dokter spesialis anak. Rasa empati dan simpati sebagai seorang perempuan menjadi nilai lebih. Dua buah hatinya juga mengikuti jejaknya sebagai dokter. Namun, tidak ada yang tertarik menjadi dokter spesialis anak. “Pokoknya mereka tak mau menjadi dokter spesialis anak..he…he..,” tutur kandidat doktor dari Universitas Padjajaran Bandung ini tanpa menjelaskan penyebabnya.(*)