Menjadikan RSUDZA Berstandar Internasional
UNDANG-Undang Kesehatan No 44 tahun 2009 pasal 40 ayat 1 menyatakan bahwa dalam upaya pening katan mutu pelayanan Rumah Sakit, akreditasi wajib dilakukan secara berkala. Jangka waktunya minimal 3 tahun sekali.
Dengan semakin kritisnya masyarakat Indonesia dalam menilai mutu pelayanan kesehatan, maka Kementerian Kesehatan RI khususnya Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan memilih dan menetapkan sistem akreditasi Rumah Sakit yang mengacu kepada Joint Commission International (JCI).
Direktur RSUDZA dr Fachrul Jamal Sp.AN KIC mengatakan, sebetulnya RSUDZA telah mendapatkan akreditasi KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) beberapa waktu silam. KARS me rupakan suatu lembaga independen dalam negeri sebagai pelaksana akreditasi Rumah Sakit yang bersifat fungsional dan non-struktural. Akan tetapi, kata Direktur RSUDZA itu, semakin lama masyarakat semakin kritis dan menuntut perbaikan mutu yang terus menerus. “Rumah sakit yang telah terakreditasi akan mendapatkan pengakuan dari pemerintah karena telah memenuhi standar pelayanan dan manajemen yang ditetapkan,” kata Fachrul Jamal dalam sebuah wawancara khusus dengan kru RSUDZA Lam Haba di ruang kerjanya, pekan silam.
Dikatakan Fachrul Jamal, akreditasi bertujuan untuk membuat satu institusi pelayanan kesehatan yang terstandarisasi.
“Dengan terstandarisasi, maka semua proses pelayanan di rumah sakit ini menjadi teratur dan terukur. Outputnya menghasilkan pelayanan yang berkualitas, yakni pelayanan yang menjamin keselamatan pasien,” kata Fachrul Jamal (Baca: Manfaat Akreditasi Rumah Sakit).
Saat ini RSUDZA sedang dalam persiapan untuk mendapatkan akreditasi JCI. Badan akre ditasi non-profit yang berpusat di Amerika Serikat itu nan tinya akan menilai standar performa rumah sakit milik pemerintah Aceh ini. Kehadiran JCI sebagai sebuah lembaga akreditasi memang tidak serta-merta.
JCI merupakan suatu lembaga independen Luar Negeri yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai pelaksana Akreditasi Internasional.
Tidak jauh berbeda dengan akreditasi KARS, standar JCI menuntut kualitas dan dtandar yang lebih ketat. “Standar JCI sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan standar yang sudah kita raih selama ini. Hanya saja standar internasional tersebut agak lebih spesifik. Misalnya, hal-hal yang mendasar, plafon yang menetes air tidak bisa diterima, karena dianggap maintenance rumah sakit tidak bagus. Lantai keramik yang lepas, jika dalam waktu sepekan tidak diperbaiki, dianggap tidak baik. Dokter pun harus sangat disiplin,” paparnya.
Menurut Fachrul Jamal, peningkatan kualitas sesuai dengan standar internasional itu tidak hanya untuk memberikan manfaat kepada seluruh masyarakat Aceh. Masyarakat internasional pun akan merasa nyaman saat datang ke Aceh, khususnya seba gai wisatawan. Sebagaimana diketahui, Aceh merupakan salah satu destinasi wisata yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. “Orang luar yang datang ke Aceh, lazimnya mereka akan bertanya dulu keamanan, lalu transportasi. Berikutnya rumah sakit, khususnya untuk penanganan pasien emergensi. Jika kita sudah memenuhi standar JCI, maka wisatawan pun akan merasa sangat tenang dan nyaman di Aceh,” kata ahli anestesi ini.
Diakui, untuk meraih akreditasi tersebut membutuhkan kerja sama semua lini, mulai dari cleaning service hingga top management. Untuk persiapan saja, kata Fachrul Jamal, membutuhkan uang hingga Rp 40 juta dalam waktu 3-4 bulan. Sedangkan biaya yang dibutuhkan mendatangkan tim khusus JCI untuk survei dan penilaian, membutuhkan uang hingga Rp 1 miliar.
Namun, kata Fachrul Jalam, uang sebanyak it hu tidak menjadi persoalan sepanjang memang ditujukan untuk peningkatajan kualitas rumah sakit yang menguntungkan masyarakat Aceh secara keseluruhan dan jangka panjang.
Kata Fachrul Jamal, keinginan dirinya menjadikan RSUDZA sebagai rumah sakit bereputasi internasional sudah jauh-jauh hari. Keinginan ini juga menjadi sinkron dengan visi-misi Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang hendak meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, termasuk membenahi pelayanan di rumah sakit pemerintah.
Jauh sebelum itu, pencanangan akreditasi JCI 2018 telah dilakukan Gubernur Aceh sebelumnya Zaini Abdullah untuk RSUDZA. Pada Senin (15 Agustus 2016) pagi itu, pencanangan ditandai dengan pemukulan rapai dan penglepasan balon oleh Zaini Abdullah.
“Hari ini kita memulai upaya meraih akreditasi internasional bagi RSUDZA,” kata Zaini Abdullah ketika itu.
Fakhrul Jamal sadar bahwa akreditasi tersebut tidak mudah dicapai. Dibutuhkan sumber da ya manusia yang mumpuni untuk meraih dan mempertahankan prestasi itu kelak jika berhasil diraih. Akan tetapi, kata Fachrul Jamal, tidak ada pilihan lain. RSUDZA harus melangkah ke sana. Semua jajaran harus siap untuk mewujudkan rumah sakit berstandar internasional. “Semua jajaran harus siap agar apa yang menjadi keinginan kita bersama bisa tercapai. Insya Allah, saya optimis dengan dukungan semua pihak,” tandas Direktur RSUDZA Banda Aceh itu. (sk)