Berbagai Kasus Bedah Anak Mampu ditangani RSUDZA
KASUS kematian bayi baru lahir masih menjadi permasalahan kesehatan di negara berkembang, khususnya di Indonesia. Kelainan bawaan mempunyai kontribusi besar sebagai penyebab kematian. Namun dengan semakin canggihnya teknologi kesehatan dan makin meningkatnya kualitas sumber daya manusia (SDM), hampir semua kasus penyakit anak, kini mampu ditangani. Termasuk di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA), Banda Aceh.
Dokter Spesialis Bedah anak, Dr. Muntadhar M.Isa Sp.B, SP.BA menyampaikan ada beberapa kasus kelainan bawaan pada bayi sering ditangani di RSUDZA. Beberapa diantaranya adalah hisprung, hernia dan atresia. “Alhamdulillah, kini semua kasus ini mampu ditangani dengan baik di RSUDZA,” kata Dr.Muntadhar M.Isa Sp.B, Sp.BA yang bertugas di Divisi Bedah Anak RSUDZA Banda Aceh. Dirinya memulai penjelasan tentang penyakit hirschsprung (PH) atau megacolon hirschsprung, yaitu penyebab obstruksi usus fungsional relative umum pada bayi baru lahir.
Sementara insiden PH pada bayi aterm dan cukup bulan adalah 1: 5000 kelahiran. Perbandingan laki-laki dibanding perempuan adalah 4:1. Resiko tertinggi terjadinya PH biasanya pada pasien yang punya riwayat keluarga (genetik) 3,6 – 7,8 persen dan pada pasien down syndrome. Penyakit tersebut cukup banyak terjadi di negara berkembang, khususnya Indonesia, termasuk di Provinsi Aceh. Dalam satu bulan mencapai 12 sampai 25 kasus. Sementara di negara maju, setahun hanya 25 kasus. “Hasil hitungan kita itu, sebulan sampai 12 hingga 20 hisprung. Semua dapat ditangani disini, angka keberhasilan sama dengan angka luar negeri, 99 persen,” ungkapnya.
Pada kasus hirschsprung, bayi biasanya kesulitan buang air besar. Fases (tinja) banyak tertahan di dalam usus besar sehingga perut terlihat buncit. Kondisi itu, terjadi karena ketiadaan sel – sel ganglion dalam dinding usus dan hipertrofi serabut saraf. Disebabkan oleh kegagalan proliferasi, diferensiasi, dan migrasi dari sistem saraf enteric (SSE), dimana sel – sel neural crest cells in the cervical (vagal) yang dikirimkan oleh neuroblas dari oesophagus ke saluran cerna bagian bawah dalam 5-12 minggu masa kehamilan tidak terbentuk sempurna, sehingga di segmen aganglionosis menimbulkan kerusakan pada pergerakan dan relaksasi reseptif.
Disampaikannya, pasien dapat diklasifikasi sebagai segmen pendek (short segmen) atau segmen klasik PH bila aganglionosis tidak meluas sampai sigmoid bagian atas (75 persen), long segmen PH bila aganglionosis meluas hingga colon transversum fleksura lienalis (15 persen), dan total colon aganglionosis PH bila aganglionosis meluas hingga seluruh colon dan pangkal ileum terminal (5-7 persen).
Untuk itu, bila ada keluhan riwayat gangguan defekasi (sembelit) atau konstipasi dari sejak bayi baru lahir perlu dipertimbangkan penyakit hirschsprung. Usia rata-rata dimana anak – anak didiagnosis dengan PH telah semakin menurun selama beberapa dekade terakhir dengan kesadaran yang lebih besar pada PH ini. Disampaikannya, dalam sebuah survey pada tahun 1979 diagnosis PH dibuat pada bulan pertama kehidupan 8 persen, pada usia 3 bulan tingkat diagnostik meningkat 40 persen. Dalam survey nasional dari Jepang dari tahun 1978– 1982, diagnosis PH dilakukan pada bulan pertama kehidupan 48,75 persen pasien.
Bahkan unit Australian Pediatric Surveilans dalam sebuah survei prospektif dari tahun 1997 sampai 2000 telah melaporkan bahwa diagnosis Hirschsprung ditegakkan pada periode bayi baru lahir pada 90,5 persen neonatus. PH biasanya dialami oleh neonatus yang cukup bulan (aterm), gejala klinis perut buncit (perut distensi), muntah kehijauan (muntah billous) dan keterlambatan keluarnya meconium lebih dari 24 jam merupakan tanda yang signifikan untuk PH neonatus.
Hampir 98 persen neonatus aterm akan mengeluarkan meconium dalam 24 jam pertama kehidupan. PH pada balita, kata dr Muntadhar, pasien biasanya dibawa dengan riwayat konstipasi kronis. Riwayat pemberian laksansia kronis dan bila ada tanda enterocolitis, perut kembung, demam, muntah dan diare berbau. Sementara PH pada anak besar dan remaja, biasanya pasien mempunyai riwayat konstipasi kronis, distensi massif abdomen dan gagal tumbuh dengan ekstremitas (lengan dan kaki) yang kurus.
Pasien ini harus dibedakan dengan konstipasi kronis yang bukan disebabkan oleh PH. PH dimulai sejak dari lahir, sedangkan kontipasi mulai terjadi sejak awal belajar buang air besar (2-3 tahun). Pasien dengan PH pada rectum bias tidak ditemukan feses sedangkan pada konstipasi terdapat fecal mass tepat di daerah sphincter interna. Pasien dengan PH jarang terjadi kecipirit (soiling) pada pakaian dalam mereka sedangkan pada pasien konstipasi sering kecipirit (soiling) pada pakaian dalam mereka.
Begitu curiga anak mengalami hisprung, maka dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan baik pemeriksaan fisik maupun penunjang. Langkah itu dilakukan untuk memastikan apakah ada kelainan lain yang menyebabkan konstipasi, tidak lancar kotoran. Tahap pertama, dokter akan memeriksa anatomi anus terlebih dahulu. Kalau letak anus malposisi, maka bukan hisprung karena hal tersebut juga dapat juga menghambat anak Buang Air Besar (BAB). “Jadi begitu curiga anak ini hisprung, kita akan lihat dulu letak anusnya untuk memastikan ada atau tidaknya gangguan,” jelas dr. Munthadar. Setelah itu, maka akan dilakukan pemeriksaan klinisnya.
Apakah, memang sudah kesulitan buang BAB sejak bayi atau pada kasus anak berusia lima tahun, baru sejak satu bulan terakhir kesulitan buang kotoran. “Itu berarti bukan hisprung, karena hisprung itu mesti yang kronis dan yang lama,” ungkapnya. Pada kasus lainnya, penderita hisprung bisa juga BAB mengalir sampai 10 kali atau lebih setiap harinya, bukan mencret. Terjadi karena relaksasi tidak ada, sehingga tidak mampu mendorong, mengakibatkan usus sekitar menebal.
Bagian belakang juga menebal karena tertumpuk kotoran. Kalau sudah dicurigai hisprung adalah gejalanya, maka perlu pemeriksaan lanjutan atau radiologis. Lewat foto polos abdomen pada PH neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah, dan pelvis terlihat kosong tanpa udara dan foto barium enema harus dikerjakan pada neonatus dengan keterlambatan meconium disertai distensi abdomen dan muntah hijau.
Tanda klasik barium enema untuk PH segmen sempit dari sfincter anal dengan segmen tertentu, zona transisi dan zona dilatasi. Dari literatur pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 65-85 persen dan spesifitas 65-100 persen. Pemeriksaan retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium dibuat foto polos abdomen untuk melihat retensi barium, bila barium berbaur dengan feses di bagian proximal dalam colon yang berganglion meningkatkan kecurigaan PH. Tahapan berikutnya adalah melakukan pemeriksaan histopatologi, merupakan standar diagnostic. Full thichnes biopsy (open surgery) atau Suction biopsy (biosi hisap).
Biasa mengunakan pengecatan hematocilin eosin, itu tersedia di RSUDZA. Selain itu, akurasi akan semakin meningkat bila menggunakan pengecatan imunohistokimia asetil kholinesterase (belum ada di RSUDZA). Pemeriksaan selanjutnya adalah anorectal manometry, pertama sekali oleh Swenson pada tahun 1949 dengan memasukkan balon kecil dengan kedalaman yang berbeda dalam rectum dan colon. Akurasi 85-90 persen (belum ada alat ini di RSUDZA).Ia melanjutkan, setelah pasti didiagnosis PH tindakan operasi harus mutlak dilakukan segera. Prinsip penanganan atau terapi PH umumnya melakukan dekompresi dengan rectal washing atau diversi dengan colostomy (sementara).
Dan terapi definitif dengan menghilangkan usus yang aganlionik dengan usus yang ganglionik. Prosedur bedah definitive (Swenson, Duhamel, Soave, Rehbein, Boley) dan teknik dapat dibantu dengan laparoscopy dipopulerkan oleh Keith Georgeson dan lain-lain. Modifikasi terbaru adalah pendekatan transanal, yang dikenal sebagai teknik De La Torre satu tahap operasi (di RSUZA sudah melakukan tindakan ini pada 500 kasus dalam 7 tahun terakhir dengan outcome 95-97 persen). Sementara untuk tipe PH banyak modifikasi operasi dari teknik yang disebutkan di atas, semua teknik mengikuti prinsip –- prinsip membawa usus yang ganglionotic (usus normal) sedekat mungkin ke kompleks sphincter. (sl)