Sejatinya Kehidupan Bermanfaat bagi Sesama

TAK jarang penderita pasca serangan jantung mengalami trauma psikologis karena dihinggapi perasaan khawatir terhadap kelanjutan penyakitnya, bahkan reka menghindari olahraga atau melakukan aktivitas yang terlalu membebani jantung. Padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar.

“Berolahraga tetaplah dianjurkan, termasuk untuk individu pasca mengalami serangan jantung.

Namun sebagai syarat, pasien harus patuh terhadap anjuran dokter, sebab program olahraga pasca serangan jantung tidak sama dengan individu sehat,” ungkap Nasrul Ana, SST, FT.

Perempuan yang akrab disapa Bu Ana ini adalah seorang fisioterapis di Unit Prevensi dan Rehabilitasi Kardiovaskular (PRKV) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA), Banda Aceh.

Berolahraga ringan memang menjadi bagian penting dalam terapi pemulihan fungsi jantung di samping obat­-obatan, nutrisi dan informasi kesehatan yang benar. Tak kalah pentingnya, kegiatan olahraga juga dapat membentuk kelompok sosial bagi sesama pasien untuk saling mendukung dan tidak menyerah dengan penyakit jantung.

Menurut Ibu dari tiga anak ini, program latihan aerobik (latihan fisik) secara konsisten di bawah pengawasan tim dokter merupakan konsep rehabilitasi pasien pasca serangan jantung atau pasca bedah jantung tanpa komplikasi.

Program ini selanjutnya dikenal dengan istilah rehabilitasi jantung. Tujuannya ialah untuk mendapatkan fungsi optimal dari jantung yang tersisa, dan bila memungkinkan, program rehabilitasi mampu memulihkan atau meningkatkan fungsi jantug.

“Tentu ada banyak suka duka nya, kadang pasien sangat bersemangat untuk mengikuti edukasi yang kita berikan, kadang sebelum kita kasih edukasi langsung nyelutuk asal sudah sakit pasti dilarang merokok, padahal yang tidak merokok sakit juga,” kata Nasrul Ana, seraya membeberkan aktivitas dan suasana kekeluargaan di ruang Gymnasium Unit PRKV, di Rumah Sakit yang sukses meraih prestasi ‘Best of The Best 2018’ itu.

Rehabilitasi pasca serangan jantung jelas merupakan bagian penting dalam upaya penanganan penderita dalam upaya mengembalikan kondisi penderita sama, atau mendekati keadaan sebelum sakit sehingga mampu kembali kepada kehidupan normalnya.

Terbukti rehabilitasi serangan jantung ini juga berperan sebagai usaha pencegahan sekunder terhadap penyakit jantung. Tiada kata terlambat untuk berolahraga.

“Jadi, rutinitas kami sehari-hari yaitu mendampingi dan memotivasi serta terus memantau setiap perubahan yang terjadi pada pasien terutama Hemodinamika ,” terang perempuan ramah kelahiran Aceh Utara, 3 April 1972 ini.

Namun demikian, program rehab jantung tidak hanya fokus pada pemulihan fisik semata tetapi juga mencakup aspek emosional, yaitu mengupayakan motivasi supaya pasien dapat berpartisipasi kembali di masyarakat se-optimal mungkin.

Bu Ana menggambarkan betapa petingnya edukasi bagi pasien dan keluarga (patient and faily aducation) secara grup, termasuk melalui pendekatan religius.

“Sehingga tidak mengabaikan nilainilai keislaman,” tandasnya.

Tak dipungkiri jika ada reaksi berupa perilaku dan pikiran­pikiran negatif yang muncul pada pasien pasca serangan jantung. Pasien kerap menglami depresi, stres atau muncul perasaan berduka.

Pengaruh psikologis bahkan kesalan si pasien bisa diarahkan kepada siapa saja termasuk kepada SPencipta. Tak jarang pula ada yang berubah menjadi lebih religius setelah ia didera penyakit.

“Karena itu dibutuhkan aspek psikologis yang menyangkut peran keluarga, dukungan dari orang­-orang terdekat dan lingkungan masyarakat.

Namun, motivasi terbesar adalah motivasi yang berasal dari diri sendiri yaitu menerima dengan lapa dada, bersabar dan terus mengikuti program dengan baik,” ujar Bu Ana.

Fisioterapis yang santun dan bersahabat ini mengatakan bahwa pendekatan spiritualitas amat penting dilakukan, sehingga pasien diharapkan bisa bersabar dan menganggap ‘serangan jantung’ yang dialaminya sebagai cobaan dari Tuhan agar mereka hidup lebih baik lagi.

Selain itu, dengan berdoa dan berserah diri, pasien juga merasa lebih tenang mengikuti program rehabilitasi dan memelihara harapan untuk sembuh. “Karena yang sangat penting adalah cara pandang kita dalam memaknainya, bahwa setiap cobaan dan ujian akan terlihat indah jika cara pandang kita juga indah.

Ketika kita melihat kehidupan ini degan kacamata hitam maka semua yang tampak adalah kegelapan, tapi tatkala kacamata hitam itu dilepaskan, kehidupan indahlah yang akan tampak,” tamsil Bu Ana.

Sejatinya, sambung Nasrul Ana, yang paling penting dalam kehidupan adalah bermanfaat bagi sesama.

Manfaat tidak harus mengeluarkan uang yang banyak, tetapi urgensinya adalah bia membantu meringankan beban pasien seperti menyemangati atau mengayomi mereka.

“Satu yang bisa saya sampaikan bahwa seseorang bisa dikatakan memiliki martabat ketika hidupnya terus  bergerak dan bermanfaat bagi orang banyak,” ucap alumnus Politeknik Kesehatan Dr. Rusdi Medan ini.

Disamping memilih pendekatan religius, kita pun terus dituntut bergerak dan terus bergerak sebagaimana fase nutfah (embrio) yang berubah menjadi a’laqah, kemudian menjadi mudghah dan menjadi izam yang kokoh. Dari gumpalan-gumpalan itulah tercipta bentuk daging dan tulang­belulang, hingga akhirnya berubah menjadi sosok yang menyenangkan.

Tapi sekali lagi, setiap perubahan itu tidak akan ada apa­-apanya jika tanpa didahului pergerakan. Begitulah hakikat kehidupan, yakni bergerak dan berubah seperti juga halnya eksis tensi Bu Ana yang tak pernah lelah menyemangati dan memandu pasien untuk terus bergerak nikmati sang surya (sunrise) yang menyinari dunia. [rid]