Saat RSUDZA Bersiap Menyambut JCI

KUALITAS sebuah rumah sakit tidak hanya ditentukan dari bangunan megah, dokter dan tenaga medis berpengalaman, serta alat penunjang kesehatan serba canggih. Namun juga dari kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

Salah satu tolak ukur untuk melihat sebuah rumah sakit memiliki pelayanan prima adalah lulus akreditasi. Meski kini Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) sudah meraih akreditasi tertinggi dengan predikat Paripurna, setara dengan rumah sakit bintang lima.

Namun saat ini, manajemen RSUDZA sedang berupaya untuk meraih akreditasi internasional. Akreditasi ini nantinya akan diterbitkan oleh Joint Comission International (JCI), sebuah badan akreditasi nonprofit di Amerika Serikat yang mendapat mandat menilai standar pelayanan kesehatan rumah sakit tingkat dunia.

Ketua Komite Akreditasi RSUDZA, Dr dr Azharuddin SpOT (K) Spine FICS, mengatakan, tahun lalu, manajemen su dah mencanangkan kick off (dimulainya) upaya untuk meraih akreditasi JCI. “Artinya, kita mendikler meren canakan suatu time table kapan memulai, sehingga apa yang kita kerjakan tepat pada urutannya,” kata dr Azharuddin yang juga Wakil Direktur (Wadir) Pelayanan Medis RSUDZA Banda Aceh.

Menurutnya, untuk mendapat pengakuan standar internasional, tentunya butuh persiapan matang, guna memenuhi semua persyaratan audit dari JCI. Mulai dari persoalan bangunan fisik rumah sakit, kelengkapan fasilitas yang harus dipastikan sudah mengutamakan keselamatan pasien atau patient safety atau belum. Apakah rawan terbakar, termasuk apakah penyimpanan bahan obat – obatan dan zat kimia berbahaya cukup terlindungi dengan baik atau tidak. “AC bocor, air menetes kebawah saja itu dianggap tidak safety. Dia (tim JCI) akan naik ke atas melihat sumber air dari mana,” sebutnya.

Kepentingan lain, kita sendiri pun akan aman dengan tersandarisasi. Sampai di kamar operasipun ada sistem, seperti berapa benang dipakai, alat apa yang dipakai, nanti kembali utuh atau tidak. Sampai sedetil itu dinilai.

Kemudian juga akan dilihat bagaimana karakter tiap individu yang terlibat dalam pelayanan rumah sakit, sejak dari front office, penerimaan pasien, resep dan obat, hingga para dokternya.

Apakah betul – betul dapat diakses oleh pasien dan keluarga pasien.

Karena, JCI lebih bersifat implementatif dan lebih me ne kankan apakah yang telah ditetapkan benar benar dijalankan dengan baik.

Seperti misalnya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), terdapat 15 alat kesehatan, harus dipastikan apakah betul semua itu berfungsi dengan baik, bisa digunakan dengan maksimal. Lantas, bagaimana maintanance atau perawatannya, kapan dikontrol dan diservice terakhir kali, semua itu harus tercatat dengan baik.

dr Azharuddin menjelaskan, ketika sebuah rumah sakit mendapatkan predikat JCI, banyak manfaat akan diterima sebuah rumah sakit. Pasien dari seluruh dunia tidak akan ragu datang untuk berobat di rumah sakit tersebut, karena sudah memiliki sistem yang betul betul dapat dipercaya.

Namun sekarang, yang cukup terasa bagi kita adalah merubah budaya kerja dan kebiasaan lama yang telah berjalan belasan hingga puluhan tahun.

“Kebiasaan lama itu mungkin saja belum tentu benar, namun sering beralasan, sudah dari dulu – dulu kami sudah lakukan begitu. Padahal yang kita lakukan dulu dulu itu sekarang sudah berubah, tidak bisa lagi seperti cara cara sebelumnya,” kata Wadir Pelayanan RSUDZA ini.

Ia mencontohkan, seper ti hal paling kecil saat dokter memesan obat, baik secara langsung maupun via telephone, ketika disampaikan bahwa pesan obat tiga macam, obat A, B dan C, penerima pesan harus reefback, mengulang apa yang disampaikan, untuk memastikan tidak ada kesalahan atau semacam kroscek ulang, dan itu harus konsisten dilakukan. “Dokter, ini obat yang dokter pesan A, B, C,” ucapnya mencontohkan.

Dengan begitu, maka obatobat diberikan benar-benar sudah sesuai dengan permintaan, sehingga aman buat pasien, aman buat petugas dan aman untuk lingkungan.

Jika RSUDZA bisa mendapatkan akreditasi JCI, akan menjadi suatu kebangaan bagi kita semua. Memang berat kalau di tanyakan untuk meraih itu, namun dengan kekompakan internal, maka Insya Allah pasti tercapai.

Sekarang ada pertanyaan, apa sih manfaat yang didapat RSUDZA dari akreditasi JCI? mengapa terlalu ambisius untuk meraihnya? Dirinya menyatakan selalu menyampaikan bahwa dengan meraih predikat itu, maka kita tidak akan pernah ragu untuk menyuruh dan mempersilahkan famili kita, kenalan kita dan siapapun untuk datang berobat ke RSUDZA, karena sudah memiliki sistem yang bagus.

Tidak perlu harus kenal orang dalam dulu bisa mendapatkan pelayanan, karena sistem sudah berjalan sesuai dengan standar dan akuntabel. Audit medisnya dan segala pelayanan semua itu telah terukur dengan baik.

Dengan meraih akreditasi JCI, banyak keuntungan besar lainnya akan didapat rumah sakit milik pemerintah daerah.

Asuransi – asuransi swasta tidak akan ragu untuk bekerjasama dengan RSUDZA, karena pelayanan diberikan kepada pasien sudah cukup baik, dokter ahli dan para medis sudah standar internasional.

Secara langsung, juga akan masuk google map dunia, saat mencari dimana saja rumah sakit di Indonesia berstandar JCI, maka akan muncul rekomendasi untuk datang ke rumah sakit itu.

“Prevelit itu yang kita dapatkan,” sebutnya.

Untuk Sumatera, baru Aceh yang sudah sangat berani mendeklarasikan diri menyiapkan diri menuju akreditasi JCI. Bedanya RSUDZA dengan rumah sakit di daerah lain, RSUDZA adalah rumah sakit daerah, sementara di daerah lain berstatus swasta atau milik Pemerintah Pusat.

Sejauh ini kita mencoba tetap komit terhadap apa yang kita gagas, kemudiaan ki ta lakukan langkah langkah apa perlu diambil. “Kalau saya analogikan, tidak kita mau tan ding bola, langsung pakai baju dan langsung main di lapangan tanpa adanya persiapan dan latihan.

Pastinya akan gugup dan kalah saat bertanding,” terangnya.

Beda jika ada persiapan ma tang selalu berlatih, apalagi rutin dilakukan dan sudah menjadi menu sehari – hari, maka Insya Allah apa yang diingikan dapat terwujud. “Kami sebut setiap hari Kamis di sini adalah hari akreditasi. Kita jumpa ngomong topik tentang itu, 2 jam inten tidak terputus,” ucapnya.

Pada awal Januari 2018 nanti, RSUDZA merencanakan akan melakukan mock survei atau simulasi survei dengan mendatangkan konsultan langsung dari lembaga JCI. “Mereka kita suruh datang dulu semacam penilaian awal, kira- kira pantas tidak kita untuk menyandang predikat JCI, semacam assesment untuk penilaian internal kita,” kata dokter Spesialis Orthopedi dan traumatologi ini.

Nanti dalam mock survei, satu tim JCI akan melihat secara langsung bagaimana persiapan RSUDZA, apakah menurut penilaian mereka sudah diatas 80 persen, kalau sudah maka selangkah lagi rumah sakit pusat rujukan di provinsi Aceh ini akan sejajar dengan rumah sakit di luar negeri.

Kalau mereka sudah menyatakan oke dan sampaikan kalian (RSUDZA) sudah lebih siap, maka akan diberikan sejumlah catatan untuk memperbaiki sedikit kekurangan lagi. “Biasanya setelah mock survei, enam bulan setelah itu baru dilakukan penilaian sesungguhnya,” kata dokter ahli Jadi, saat ini RSUDZA sudah dalam time tablenya, Januari akan melakukan mock survei untuk melihat sejauh mana kesiapan. Menuju Januari, dari beberapa bulan ada sudah ada pembimbingan khusus dan telah membuat banyak kelompok kerja (Pokja).

Misalnya ada yang mengurusi masalah di kamar operasi, Pokja memastikan betul pasien safety, tidak tertukar pasien, tidak tertukar kiri dengan kanan, bagaimana menyatakan prosedurnya itu apakah sudah benar. “Masing – masing unit, ada Pokja yang bolak balik membicarakaan itu,” terangnya.

Nanti setelah Pokja itu sudah cukup cekatan dan menguasai secarapenuh, baru memberi mengajarkan kepada yang lain secara keseluruhan, ada semacam penanggungjawab masing – masing bidang. Jadi suatu saat, bisa dengan gampang diinternalisasikan.

Untuk menuju kesana, Pokja terus melakukan simulasi, sehingga akan bermunculan diinternal rumah sakit pembimbing selevel untuk JCI. Sehingga jika waktu penilaian ril dimulai, maka RSUDZA sudah siap untuk menghadapinya. (sl)