Pemahaman Etika Masih Perlu Diasah

RUMAH Sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 159b/ Men.Kes/Per/II/1988 tentang Rumah Sakit adalah “Sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian”.

Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya sebagian besar tenaga hukum kedokteran, yaitu ketentuan hukum yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau pemeliharaan kesehatan, dalam menjalankan profesinya seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, nutrisionis, fisioterapis, ahli rekam medik dan lain-lain.

Sedangkan menurut WHO, Rumah Sakit adalah suatu badan usaha yang menyediakan pemondokan yang memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka panjang yang terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terpeutik dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit, terluka, mereka yang mau melahirkan hingga menyediakan pelayanan berobat jalan.

Sementara, etika Rumah Sakit adalah suatu etika praktis yang dikembangkan untuk Rumah Sakit sebagai suatu institusi lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan kehadiran etika biomedis. Atau dapat juga dikatakan etika institusional rumah sakit adalah pengembangan dari etika biomedika (bioetika). Karena masalah-masalah atau dilema etika yang baru, sama sekali sebagai dampak atau akibat dari penerapan kemajuan pesat ilmu dan teknologi biomedis, justru terjadi di rumah sakit.

Dengan status yang disandang seperti itu, mau tak mau membuat rumah sakit bersinggungan dan bersentuhan dengan banyak orang, kalangan serta beragam latar belakang.

Kondisi itulah yang membuat rumah sakit penuh dinamika dalam menegakkan disiplin, terutama karena latar pemahaman etika kebersamaan yang masih rendah.

Kondisi itulah yang kini dijalani oleh Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA), Banda Aceh.

Persinggungan itu akan makin kompleks ketika dikaitkan dengan kondisi emosional dan kejiwaan pasien, keluarga dan pembezuk, yang kadang sering meledak ledak. Mereka tak mau tahu dengan peraturan dan kaedah sebuah pusat layanan kesehatan, yang butuh ketenangan dan kenyamanan.

Bayangkan, ada pembezuk atau keluarga pasien yang seenaknya merokok di lingkungan rumah sakit. Atau bahkan keluarga pasien yang menjadikan area rumah sakit ibarat camping ground.

Sementara di sisi lain, eksplektasi masyarakat terhadap pelayanan sendiri, seakan nyaris tak terjangkau. Hasilnya, penegakan disiplin itu sering berujung bentrok fisik dan berujung anarkis. Padahal pihak rumah sakit hanya ingin agar fungsi pelayanan kesehatan dapat dilakukan secara maksimal. Dan tenaga Satpam pun kadang jadi bulan bulanan.

Di sisi lain, sebagai rumah sakit terbesar di Aceh, RSUDZA juga memiliki sumberdaya manusia (SDM) terbatas, untuk mengelola secara penuh semua lini rumah sakit yang kini telah menjadi BLUD itu.

Alternatif yang dipilih adalah dengan menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaan itu kepada pihak ketiga, dengan klausul kontrak yang ketat dan mengikat.

Pihak ketiga ini bertanggungjawab penuh atas pekerjaan yang diserahkan, termasuk atas personil mereka yang diperkerjakan di lingkungan rumah sakit. Tanggungjawab itu juga menyangkut etika moralitas para pekerja yang menjadi outsourching yang bekerja pada pihak ketiga.

Di sinilah dilematisnya, ketika masyarakat awam yang tak tahu persoalan, mengkaitkan tenaga outsouching itu dengan rumah sakit. Bahkan yang lebih parah meminta tanggungjawab rumah sakit, ketika terjadi hal hal yang tak terduga.

Padahal, tenaga outsourching itu adalah kewenangan penuh pihak ketiga yang dikontrak oleh RSUDZA. Karena mereka adalah user tenaga kerja yang telah mereka seleksi secara ketat dan terukur. Hanya saja sebagai tanggungjawab moral, pihak RSUDZA memang harus ikut peduli. Minimal untuk melihat sebuah kejadian secara jernih, dan sedapat mungkin tidak mengganggu kenyamanan pelayanan pasien.

Penegakan disiplin dan pemahaman masyarakat secara utuh tentang rumah sakit memang terasa masih sulit dilaksanakan. Karena kesadaran dan kepekaan sebagian masyarakat kita memang masih butuh diasah lebih jauh. Walau kadang untuk mengasah itu, ada yang menjadi tumbal. Tenaga sekurit misalnya!!