RSUDZA Menuju Transplantasi Ginjal Mandiri

TIM medis Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, Provinsi Aceh kembali menuai sukses melaksanakan operasi cangkok (transplantasi) ginjal untuk ketiga kalinya, Senin, 9 Juli 2018.

Operasi cangkok ginjal terhadap Muharuddin (44) dilaksanakan tim medis RSUDZA dibantu tim transplantasi ginjal Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Pasien menerima donor ginjal dari adik kandungnya, Sri Muliani (39), yang berprofesi sebagai perawat.

“Ini cangkok ginjal ketiga di RSUDZA, penerima adalah abangnya sedangkan pendonor adalah adiknya seorang perawat. Ini kondisi paling ideal, karena donor dari saudara kandung tingkat keberhasilan sangat tinggi,” kata Direktur RSUDZA, Dr. dr Azharuddin Sp.OT, K-Spine FICS.

Satu minggu pascaoperasi transplantasi, kata Direktur RSUDZA, pasien sudah diperbolehkan pulang. Penanganan lanjutan antara keduanya tentu berbeda, untuk pemberi, biasanya pemulihannya seperti operasi–operasi biasa pada umumnya.

Sementara bagi resipien penerima ginjal, tentunya harus mendapat perhatian khusus dari tim dokter. Proses pemulihan terhadap pasien, diharapkan bisa berjalan baik.

Ada hal krusial perlu diwas padai pascaoperasi, yaitu jangan sampai terjadi infeksi dan jangan ada reaksi–reaksi penolakan. Untuk mencegah terjadinya rejeksi, maka pasien diberikan obat – obatan anti penolakan tubuh terhadap ginjal baru.

Tentunya harus dimonitor secara ketat. Kondisi pasien berangsur membaik. Satu minggu pascaoperasi sudah bisa pulang ke rumah, namun harus kontrol secara teratur, paling tidak setiap satu minggu sekali.

Kebetulan, pasien memiliki keluarga di Banda Aceh sehingga memudahkannya untuk kontrol ulang. Seandainya harus pulang ke rumah sendiri di kampung, tentunya bisa dimonitor oleh dok ter setempat atau memang secara terjadwal akan diminta kembali untuk dievaluasi dan me lanjutkan obat–obat yang ha rus dikonsumsi.

Dokter Azharuddin melan jutkan, dengan keberhasilan cangkok ginjal ketiga dilaksanakan RSUDZA, maka selangkah lagi rumah sakit milik Pe merintah Aceh ini akan mencapai tahapan mandiri untuk operasi cangkok ginjal.

Tentunya, untuk mandiri ada tahapan harus dilalui. Secara umum dikatakan, setelah empat atau lima kasus ditangani itu bisa mandiri. Pada operasi transplantasi ketiga, sudah lebih banyak tim medis RSUDZA mengerjakan, meskipun tetap dibantu tim dokter dari RSCM.

Ke depan, setelah kesekian kali penanganan kasus mungkin mereka (tim RSCM) hanya akan mendampingi saja, sampai akhirnya RSUDZA dinyatakan betul–betul bisa mandiri.

Idealnya, jarak antar operasi itu adalah tiga bulan atau maksimal enam bulan. Operasi ketiga beberapa waktu lalu, jedanya memang cukup jauh, karena ada beberapa faktor atau persiapan yang perlu dilakukan.

Ke depan, manajemen Rumah Sakit Zainoel Abidin tentunya sangat berharap agar operasi cangkok ginjal tidak perlu menunggu waktu lama. Namun, semuanya sangat tergantung pada kondisi pasien dan kesiapan pendonor.

Dokter Azhar menjelaskan, operasi cangkok ginjal sangat berbeda dengan operasi lain.

Pertama, harus clear terlebih dahulu antara pendonor dan penerima, ginjal yang diterima harus legal, sumbernya harus jelas. Tidak boleh ada praktik percaloan, aturan dan proses ketat diterapkan disini. “Donor agak susah kita cari, ini yang membuat tidak gampang untuk rutin melakukan tindakan,” kata Direktur RSUDZA.

Dokter Azharuddin menye butkan, angka gagal ginjal di Aceh cukup tinggi. Dapat dilihat dari banyaknya pasien cuci darah di RSUDZA dan rumah sakit di daerah. Menurutnya, jalan terbaik untuk menghindari cuci darah seumur hidup adalah dengan cangkok ginjal. Pendonor ginjal, juga tidak perlu takut untuk memberikan satu ginjalnya karena orang lain, karena dengan satu ginjal masih dapat beraktifitas seperti biasa dengan baik.

Begitu juga bagi penerima, selain terbebas dari rutinitas cuci darah setiap bulannya, kualitas hidup juga sama dengan pemberi. Kalau orang suka olahraga dia bisa olahraga seperti biasa, begitu juga bagi pekerja berat, masih bisa lakukan aktivitas seper ti biasa.

Jadi, transplantasi ginjal bagi pasien gagal ginjal adalah suatu langkah yang tepat, namun pasien seringkali kesulitan untuk mendapatkan seorang pendonor ginjal.

Disinilah perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat, khususnya keluarga terdekat agar jangan ragu-ragu untuk menjadi pendonor ginjal.

Dokter Azhar menjelaskan, tidak ada masalah, meskipun telah diambil satu buah ginjal asal ginjal yang satunya sehat, karena biasanya ginjal akan melakukan kompensasi untuk mengambil alih fungsi.

Dirinya juga berharap, kalau ke depan cangkok ginjal sudah berjalan secara rutin dan teratur di RSUDZA, maka bukan hanya pasien di Aceh yang akan dapat ditangani, pasien dari luar Aceh pun juga bisa melakukan tindakan transplantasi di sini.

Sementara itu, di RSCM antrian pasien cangkok ginjal sudah sampai pada bulan Februari tahun depan atau 2019. Setiap harinya, menangangi tiga sampai empat kasus.

Sebagai rumah sakit rujukan nasional, RSCM tentunya menerima pasien-pasien dari seluruh Indonesia. Kalau RSUDZA memiliki pusat cangkok ginjal, kata dokter Azhar, maka tidak tertutup kemungkinan pasien dari luar Aceh bisa ditangani secara rutin di rumah sakit milik Pemerintah Aceh.

Karena menurutnya, paling bagus adalah penanganan cangkok ginjal secara rutin. Dengan begitu, jam terbang tim medis akan semakin tinggi. Untuk Sumber Daya Manusia (SDM), RSUDZA pun sudah sangat memadai, tinggal sekarang bagaimana RSUDZA bisa memiliki alat lengkap untuk melakukan operasi cangkok ginjal.

Karena selama ini, alat medis digunakan RSUDZA adalah pinjaman dari RSCM. Saat ini alat medis sedang diupayakan dan apa saja. “Malu juga kita kalau harus pinjam-pinjam terus.

Ini sudah beberapa kali penanganan operasi cangkok ginjal, maka kita sudah harus wajib memiliki alat itu. Kita harap Pemerintah Aceh baik eksekutif dan legislatif, semuanya punya perhatian penuh untuk pengembangan rumah sakit kebanggaan masyrakat Aceh,” katanya.

Selama ini RSUDZA memang belum memiliki alat medis untuk cangkok ginjal, karena memang belum rutin melakukan tindakan, namun ke depan dengan semakin banyaknya kasus ditangani, maka rumah sakit Pemerintah Aceh akan mandiri melakukan operasi cangkok ginjal, alat medis juga harus memadai.

Maka untuk itulah, butuh dukungan sepenuhnya dari Pemerintah Aceh, baik gubernur maupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk mewujudkannya. (sli)