Mengapresiasi Tradisi melalui Rumah Singgah
Di sudut-sudut bangunan yang berdiri megah di kawasan Banda Aceh itu, terlihat ada warga merebahkan badan dengan beralaskan tikar pada malam hari. Mereka itu adalah keluarga pasien yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.
Bagi masyarakat di Tanah Rencong, menjenguk dan menjaga keluarga yang dirawat di rumah sakit merupakan sebuah tradisi yang terus dirawat dan tak jarang dari mereka sampai bermalam di rumah sakit dengan memanfaatkan lokasi-lokasi yang ada.
Kondisi masyarakat yang datang dari kabupaten/kota untuk mendapat fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit rujukan utama di Aceh yang terkadang memanfaatkan sebagian lokasi sebagai tempat melepas lelah sejenak, menjadi perhatian besar dari manajemen RSUD dr. Zainoel Abidin.
Tepatnya pada pada Kamis 11 April 2019, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah memotong pita tanda diresmikannya penggunaan Rumah Singgah yang diperuntukkan bagi keluarga pasien yang dirawat di RSUDZA.
Kehadiran Rumah Singgah tersebut merupakan wujud dan komitmen dari manajemen dan juga Pemerintah Aceh untuk mengurai keluarga pasien yang tidur di pelantaran atau gang RSUDZA, yang seakan menjadi pemandangan tidak baik terhadap rumah sakit milik pemerintah daerah tersebut.
Inovasi pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit milik Pemerintah Aceh dengan motto “Memberi Lebih dari Yang Diharapkan” tersebut mendapat apresiasi dari orang nomor satu di provinsi ujung paling barat Indonesia itu.
“Kita sangat mengapreasiasi terhadap inovasi yang dilakukan manajemen RSUDZA dalam memberikan palayanan kepada masyarakat yakni dengan menghadirkan Rumah Singgah atau tempat keluarga pasien bermalam,” kata Nova Iriansyah.
Dirinya mengaku sangat memahami akan kehadiran Rumah Singgah di lingkungan RSUDZA. Kehadirannya merupakan bagian dari menjawab kultur masyarakat di provinsi tersebut yang sangat kental akan merawat dan menjaga keluarganya yang sedang sakit.
RSUD dr. Zainoel Abidin adalah rumah sakit rujukan utama di Provinsi Aceh yang melayani perawatan pasien yang dirujuk dari rumah sakit yang ada di seluruh kabupaten/kota di provinsi setempat.
Nova Iriansyah mengatakan kultur positif tersebut memang tidak boleh dihapus dan harus dipertahankan, tapi harus diakomodir dengan positif serta mengeliminir hal-hal yang negatif.
“Melayani, menyenangkan orang lain dan bekerja secara ikhlas merupakan ciri khas Rasulullah yang harus kita teladani,” katanya.
Menurut dia, kehadiran Rumah Singgah merupakan sebuah inovasi dan langkah yang sangat tepat yang dilakukan manajemen RSUDZA guna memberikan pelayanan terbaik kepada keluarga pasien yang mengakses layanan kesehatan di Aceh.
Ia mengatakan Rumah Singgah yang baru diresmikan tersebut harus dapat dikelola secara profesional, dan kalau memungkinkan adanya skema sedekah untuk konsumsi keluarga pasien yang menghuni rumah singgah tersebut.
“Kami mempersilahkan direktur dan manajemen RSUDZA untuk menggelola dengan baik Rumah Singgah ini dengan tetap mengedepankan akuntabilitas dan transparansi serta dapat menerapkan skema sedekah untuk konsumsi penghuni Rumah Singgah,” katanya.
Rumah Singgah yang diperuntukkan bagi keluarga pasien dari luar Banda Aceh khususnya untuk pasien yang perlu perawatan intensif memiliki 132 tempat tidur yang terdiri dari 64 tempat tidur perempuan dan 68 tempat tidur untuk laki-laki.
Rumah singgah tersebut merupakan bangunan lama yang tidak terpakai dan diusulkan pembiayaan melalui APBA pada tahun 2018. Ada pun total pembiayaan rumah singgah tersebut sebesar Rp2,3 miliar yang terdiri Rp1,5 miliar lebih untuk merehab fisik, kemudian Rp 744 juta untuk mobiler dan satu unit mobil untuk keperluan tranportasi baik di seputaran rumah sakit dan lain yang menyangkut dengan kepentingan rumah singgah.
Rumah Singgah milik RSUDZA memiliki sejumlah fasilitas termasuk di dalamnya tempat tidur, penjemuran kain, kipas angin dan untuk saat ini penghuni rumah singgah belum ditanggung biaya makan.
Dalam kesempatan tersebut, Nova Iriansyah yang hadir untuk meluncurkan secara resmi Rumah Singgah RSUDZA tersebut, merespon dengan cepat terhadap laporan direktur RSUDZA terkait belum adanya biaya konsumsi yang akan ditanggung kepada keluarga pasien yang memanfaatkan fasilitas tersebut. “Pemerintah Aceh akan pertimbangkan untuk konsumsi keluarga pasien sekitar Rp 2,1 miliar per tahun merupakan suatu angka yang wajar. Saya minta Tim Anggaran Pemerintah Aceh dapat mempertimbangkan ini dengan efisiensi program pada kegiatan lainnya,” katanya.
Baginya, memberikan pelayanan secara prima kepada masyarakat di Provinsi Aceh merupakan wujud dan komitmen dari visi dan misi yang telah disusun dirinya bersama bersama Irwandi Yusuf.
Memastikan semua rakyat mendapat akses layanan kesehatan secara mudah, berkualitas dan terintegrasi menjadi salah satu misi Pemerintah Aceh tahun 2017-2022. (ifd)