RSUDZA Punya 344 Indikator Pelayanan Kesehatan

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) juga punya indikator level rumah sakit.

Seperti diketahui, rumah sakit Tipe A saat ini punya beberapa akreditasi, seperti akreditasi syariah.

Rumah sakit pusat rujukan di Provinsi Aceh menjadi institusi pelayanan kesehatan pertama di Sumatera pada 2018 meraih akreditasi syariah dari Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia (MUKISI).

Rumah sakit kebanggaan masyarakat Aceh juga sudah melewati SNARS (Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit). Telah mendapat akreditasi Paripurna kembali yang tentunya juga punya indikator wajib, indikator prioritas.

Bahkan kini sedang menuju akreditasi internasional dari Joint Commision International (JCI), tentunya juga ada indikator untuk menjadi hospital wide.

“Banyak itu, kalau ditotal semua, ada 344 indikator. Indikator unit, indikator bidang dan level rumah sakit,” ujar Ketua KMKP RSUDZA, dr. Azzaki Abubakar, Sp.PD-KGEH, FINASIM.

Dijelaskan, sebuah indikator bisa berubah setiap tahun, kalau ternyata pada tahun itu sudah tercapai sesuai target.

Keberadaannya bisa dipertahankan, tapi tidak lagi dinilai sebagai sebuah indikator wajib, bisa ditambah lagi yang baru, kalau ternyata meningkat misalnya, tapi belum sesuai dengan target bisa diteruskan sampai tahun berikutnya.

Setiap tahun, apakah itu pada akhir tahun atau awal tahun berjalan harus diputuskan mana saja yang ditetapkan sebagai indikator.

Data tersebut tentu harus divalidasi karena tidak mungkin semuanya diambil. Ada proses validasi harus dilalui. Bertujuan untuk mengetahui valid atau tidak datanya. Kalau memang valid, KMPK memberikan rekomendasi untuk perbaikannya, baik di level unit maupun level rumah sakit. Setiap tiga bulan sekali, ada per temuan antara komite, direktur dan dewan pengawas.

“Ini berbicara masalah mutu, kalau berbicara masalah keselamatan pasien beda lagi. Kalau tadi bicara mutu, sekarang soal keselamatan pasien,” ujarnya.

Jadi, rumah sakit harus selalu mengedepankan patient safety. Segala hal yang menyangkut dengan pelayanan haruslah mengedepankan itu.

Bagaimana maksud nya? Sekarang misalnya Anda menjadi pasien, mulai dari Instalasi Gawat Darurat (IGD), ruangan dan sampai kembali pulang ke rumah harus nyaman, harus aman.

Maka dibuatkan indikator agar pasien aman dan nyaman mulai masuk rumah sakit sampai pasien pulang.

Bagaimana caranya, yaitu selalu membuat standar. Ia mencontohkan, seorang pasien harus punya identitas, sesuai standar minimal adalah tiga, tidak bisa hanya nama saja, tidak cukup hanya satu. Semisal, oh namanya adalah Abdullah, tidak bisa seperti itu, Abdullah apa namanya? Apakah Abdullah Ahmad, Abdullah Umar, Abdul lah Saleh, identitas harus lengkap seperti nama lengkap, tempat dan tanggal lahir dengan nomor rekam medis.

Mengapa demikian, karena bisa saja nama pasien sama, semisal Abdullah Ahmad ada dua orang, tanggal lahir pasti beda, nomor rekam medis pasti beda. Kalau sempat nanti perawat misalnya mau tanya pasien Nan Bapak Soe (nama bapak siapa?) harus lengkap, nanti juga dilihat digelang, jangan asal tanya Bapak Abdullah ya? Tidak boleh seperti itu.

Lantas yang benar bagaimana, tanyakan nama bapak siapa? Kemudian cocokkan dengan nama yang tertera digelang. Bapak Lahe Pajan, Pak (Bapak Lahir Kapan, Pak) lihat lagi di gelang untuk mencocokkan apakah benar atau tidak. Ini adalah bagian dari patient safety.

“Contoh lainnya misalnya, Pak Suparman Isda, saya tidak akan tanya pak Suparman ya? Bukan seperti itu saya tanya, tapi bapak namanya siapa? Setelah dijawab Pak Suparman Isda, kemudian cocokkan dengan nama tertera di gelangnya. Bapak Lahe Pajan, Pak? Cocokkan lagi yang tertera digelang apakah tanggal disebutkan betul. Ini adalah patien safety,” terangnya.

Kemudian ada upaya lagi untuk mencegah jangan sampai cidera pada pasien. Untuk ini ada indikator juga meski subnya berbeda namun saling terkait. Ada potensi potensial cidera, nyaris cidera, ada kejadian tidak cidera, ada kejadian tidak diharapkan, ada sentinel.

Jadi, dari hal paling kecil saja seperti ada jamur, semen atau keramik retak ini adalah potensi potensial cidera, jadi erat kaitannya dengan keselamatan pasien.

“Jangan sampai pasien meninggal, jangan sampai ada cacat, jangan sampai obat salah masuk.

Ini dibuat standar semuanya. Kalau masih juga ada kejadian, maka harus diperbaiki. Kita tidak bisa bilang rumah sakit kita bagus kalau tidak punya standar, tidak punya indikator, tidak pernah melakukan monitoring dan evaluasi,” ungkapnya.

Sekali lagi, KMKP tentunya tidak bisa bekerja sendirian melakukan itu semua, makanya dibuat in house training, semua bidang dipanggil sama – sama berbicara.

Ilmu dan pengalaman didapat dari berbagai training diikuti ditularkan kepada semua, sampai ke ruang rawat inap ditawarkan, sampai wakil direktur (Wadir) dibuat kelas khusus untuk mentransfer itu semua, termasuk ke direktur dan dewan pengawas, komite menjadi semacam corong.

Kemudian ada satu lagi, yaitu menyangkut dengan manajemen risiko. Sebenarnya ini menjadi ujung pangkal dari semuanya.

“Saya tidak tahu kalau di kantor lain, di RSUDZA sekarang sedang digalakkan bagaimana melihat peluang ke depan terjadi masalah dengan peta risiko. Seperti PKRS, apa sebenarnya yang akan terjadi kalau ada persoalan tidak dibereskan di PKRS misalnya,” ucapnya.

Contoh lain semisal ada bangunan baru yang akan dibangun, maka dibahas dulu biayanya bagaimana? Kalau dibangun Sumber Daya Manusian (SDM) bagaimana? Kalau dibangun lingkungannya ada masa lah atau tidak? Kalau dibangun ada tidak ruang di sebelahnya menjadi terganggu? Itu manajemen resiko namanya.

“Jadi kita berusaha pro aktif melihat apa potensi kalau sesuatu itu dilaksanakan. Kita ada istilahnya, ada reaktif ada pro aktif, kalau ada kejadian kita beresin, tapi ini belum kejadian tapi sudah kita perkirakan, sebelum itu terjadi diberesin dari awal,” kata dr Azzaki.

Lebih lanjut dr Azzaki menjelaskan, sampai ke cleaning service-pun KMKP masuk. Mereka harus tahu bagaimana membersihkan darah tercecer, bukan sekedar pakai kain pel.

Namun harus dibersihkan terlebih dahulu pakai tisu, cairan pembersih baru menggunakan pel lantai. Pel tersebut tidak boleh digunakan di tempat yang lain, karena kalau dalam darah ada kuman bisa kemana – kemana. Tenaga security juga punya peran, KMKP juga sampaikan kepada mereka bagaimana standar keamanan dan pengamanan di rumah sakit.

Termasuk masalah proyek juga KMKP masuk untuk memastikan MoU terhadap suatu barang dan jasa sesuai dengan standar. Termasuk bagaimana kadaluarsa alat itu, kapan dikalibrasi atau dilakukan pengecekan, kalau kekurangan bahan kemana harus di order, itu bagian dari mutu juga.

“Kita, komite mutu lebih kepada motor penggerak untuk bagaimana mutu keselamatan pasien dimengerti oleh semua ‘penduduk’ rumah sakit ini. Mereka punya standar, punya capaian target bagaimana standar itu bisa lebih bagus sehingga ujung – ujungnya itu patient safety menjadi terkendali tercapai, lininya bukan hanya dokter saja atau perawat saja, tapi semua,” demikian ujarnya. (msn)