Rumah Sakit Terakreditasi Harus Meningkat Mutu Pelayanan

PERATURAN Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien mewajibkan bagi setiap fasilitas kesehatan untuk mengupayakan keselamatan pasien dengan tujuan menyediakan sistem asuhan yang lebih aman.

Direktur RSUDZA, Dr dr Azharuddin, Sp.OT K­Spine FICS menyampaikan rumah sakit yang terakreditasi harus memastikan untuk berupaya meningkat mutu pelayanan atau yang sering disebut dengan hospital wide indicator.

Artinya apa? Seluruh indikator wajib dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai pelayanan bermutu dan aman. Semisal persentase pelaksanaan prosedur identifikasi pada pemberian transfusi darah dan produk darah.

Harus dipastikan golongan darah dan jenisnya sama dengan penerima donor, kemudian harus di pastikan betul apakah pasien penerima benar. Untuk proses itu saja harus double cek, harus diucapkan secara berulang untuk mengantisipasi adanya kesalahan.

Sebegitu pentingnya, karena transfusi darah mirip-mirip dengan donor organ. Artinya memasukkan punya orang lain ke dalam tubuh orang lain. Bayangkan kalau salah transfusi, reaksinya itu mulai dari ringan sampai fatal. Bahkan dapat menyebabkan pasien meninggal dunia.

Maka itulah, rumah sakit harus betul – betul melaksanakan prosedur identifikasi. Berapa persen targetnya? Harus bersifat misalnya 100 persen, tidak dapat tawar menawar.

Secara ejaan obat itu memang mirip, namun satu untuk obat mencret satunya untuk kencing manis. Itulah yang harus diperhatikan pada obat–obat high alert,”
Dr dr Azharuddin, Sp.OT K-Spine FICS
Direktur RSUDZA

Kemudian kepatuhan petugas dalam melaksanakan komunikasi efektif dengan menerapkan prosedur Tulis, Baca dan Konfirmasi (TBAK) yang tercatat dalam rekam medik. TBAK adalah teknik komunikasi lisan per telepon dengan menulis, membaca berulang dan melakukan konfirmasi pesan yang diterima oleh pemberi pesan.

Dirinya memberikan contoh, misalnya begini, dr. Azharuddin menelpon perawat menyampaikan bahwa pasien harus diberikan obat yang pertama, paracetamol, kedua ampisilin, ketiga meloksicam.

Perawat yang menerima pesan harus mengulang kembali apa yang disampaikan oleh dokter sehingga menjadi clear. Perawat tidak boleh menduga-duga, atau merasa tadi sudah ingat apa yang disampaikan oleh dokter. Itu yang dimaksud dengan komunikasi yang efektif.

Mana tahu mungkin saat itu sinyal telepon lagi kurang bagus atau suara bising sehingga pesan tidak dapat tersampaikan dengan jelas.

“Jadi harus dipastikan adanya kepatuhan melakukan komunikasi efektif. Itu tercatat di dalam rekam medik,” kata dr Azharuddin.

Kemudian harus diperhatikan dengan baik adalah pelaporan hasil tes kritis diagnostik petugas kepada dokter penanggungjawab pasien. Laboratorium kritis misalnya begini, ada pasien diperiksa di laboratorium, maka hasil lab kurang dari setengah jam harus sudah dilaporkan seperti apa kondisi pasien sebenarnya.

Misalkan ada pasien dengan gula darah sangat tinggi, tidak boleh menunggu besok dilaporkan kepada dokter penanggungjawab pasien karena kalau tidak segera mendapat penanganan dikhawatirkan nyawa pasien akan terancam. Atau contoh lain ada pasien dengan fungsi ginjal terganggu, ureum kreatinin sangat tinggi kalau dibiarkan tindak ada tindakan maka besok pasien bisa gagal ginjal permanen, dan tidak bisa diperbaiki lagi. Hal demikian harus secepatnya dilaporkan.

Sebuah rumah sakit yang menjalankan indikator dengan baik itu dianggap sudah bermutu. Kemudian kepatuhan petugas melakukan komunikasi efektif dengan metode SBAR timbang.

SBAR adalah Kerangka komunikasi efektif yang digunakan di rumah sakit yang terdiri dari Situation, Background, Assessment, Recommendation. Metoda komunikasi ini digunakan pada saat perawat melakukan timbang terima (handover) ke pasien.

Antara perawat jaga pagi dengan jaga siang dan malam harus ada komunikasi efektif. Harus disampaikan bahwa ada sekian pasien lengkap dengan penyakit diderita.

Pasien dengan kondisi gawat misalkan begini dan kondisi biasa begini. Itu memang harus diserahterimakan, harus tercatat dengan baik. Harus dipastikan di indikator hospital wide-­nya ada.

Kemudian pelabelan dan penyimpanan obat-obatan kategori high alert atau kategori obat berisiko tinggi di ruang rawat inap.

Obat-obat high alert banyak yang mirip-mirip misalnya obat A dengan obat B sama-sama 100 mili.

Itu fungsinya ada obat yang biasa saja ada yang memang bisa mematikan kalau salah diberikan. Ada yang obat mirip secara penyampaian atau ucapan misalnya diarek, diabex yang satu untuk mencret dan yang satunya lagi untuk kencing manis.

Bila salah diberikan, misalkan obat mencret diberikan kepada penderita kencing manis maka dapat mengancam keselamatan pasien.

“Secara ejaan obat itu memang mirip, namun satu untuk obat mencret satunya untuk kencing manis. Itulah yang harus diperhatikan pada obat-obat high alert,” terang dr Azharuddin.

Kemudian pelabelan dan penyimpanan obat-obatan elektrolik pekat di ruang rawat inap harus diperhatikan secara teliti. Jadi, ada obat-obat elektrolik pekat harus diencerkan dengan Natrium Klorid atau NACL atau dengan bahan kimia yang sesuai.

Coba bayangkan kalau obat diberikan tidak diencerkan, bisa berdampak buruk pada pasien, bahkan bisa meninggal dunia. Maka itulah harus betul-betul diberi label yang mudah dilihat. Hal ini juga masuk dalam hospital wide, kemudian juga kepatuhan verifikasi checklist pra operasinya, tahapan tersebut juga harus benar benar diperhatikan.

Apakah benar pasien tersebut yang akan menjalani operasi, termasuk lokasi atau bagian tubuh bagian mana yang akan dioperasi. Itu harus sudah clear sejak awal. Misalkan lagi ada pasien patah paha kiri, maka bagian yang akan diambil tindak operasi harus digambarkan dengan spidol, jangan malah nanti yang di operasi malah kaki kanan. Maka itulah sangat penting dilakukan verifikasi checklist.

Kemudian contoh lain lagi, ada pasien mau operasi usus buntu, maka sebelum dibawa ke meja operasi maka harus digambarkan di sebelah kanan, kalau prosedur tersebut tidak dijalankan maka saat di kamar operasi dokter menjadi bingung.

Untuk berikutnya adalah kelengkapan pengisian format checklist keselamatan pasien operasi, itu juga harus betul-betul diisi format nya mulai dari nama dan tanggal lahir, harus dipastikan betul di kamar operasi.

Apalagi antrean pasien cukup banyak sementara waktu terbatas, begitu pasien dipanggil sudah diberikan obat penenang sehingga tidak bisa ditanya apa-apa lagi.

Kemudian soal cuci tangan pada petugas kesehatan itu bersifat wajib. Karena angka infeksi sangat tinggi pada ketidakpatuhan. Termasuk kepatuhan pada peserta didik, mengingat RSUDZA adalah RS tipe A pendidikan maka bagaimana peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dan dokter muda harus dipastikan kepatuhan pada program keselamatan pasien. Itu beberapa contoh dan banyak lagi hospital wide yang lain.

Bahkan Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) yang paripurna dan Joint Commission International (JCI) juga meminta itu. Mereka memastikan segala sesuatu dilaksanakan dengan baik.

Mereka lihat dokumennya dan memastikan kepada petugas di lapangan sama pemahamannya.

“Petugas mana yang akan ditanya tidak bisa ditunjuk. Siapapun ketemu mereka bisa tanya. Artinya, mereka ingin memastikan seluruh tugas apakah sama atau tidak pemahamannya jadi tidak bisa kita ajarkan sesorang agar pintar menjawab tetapi dia akan acak, misalnya akan pergi ke suatu ruangan ada sekian puluh petugas, dia kepengin ngomong sama yang nomor 16 untuk memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik, begitu juga dengan pemahaman terhadap transfusi darah dia akan minta simulasikan, dia akan tanya bagaimana ilustrasinya,” pungkas dr Azharuddin. (msn)