Dedikasi untuk Pasien Jangan Dihitung dengan Materi

KAMIS, 25 April 2019 pukul 17.16 WIB, pria dengan postur tinggi itu tampak tersenyum ramah, saat menerima Kru Tabloid RSUDZA Lam Haba di ruang kerjanya yang mungil dengan ukuran sekitar 3×3 meter di lantai II Gedung Administrasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh.

“Silakan masuk, maaf ruangan alakadarnya,” tutur pria yang bernama Saiful Riza itu.

Tak tampak kesan lelah di wajah pria yang punya jam kerja yang kadang hingga larut malam sekalipun. Spirit workaholic tergambar saat ia menyahuti bincang bincang ringan kami di rembang petang itu.

Hari itu adalah hari pertama suami dari Wiwin Heriyati itu kembali berdinas. Setelah pulang dari Batam untuk mengikuti Pendidikan Jenjang karir yaitu PIM III.

“Alhamdulillah, baru hari ini saya berdinas kembali, setelah pulang dari Batam ikut pendidikan,” katanya.

Saat ini Saiful menjabat sebagai Kepala Bidang Keperawatan, yang membawahi dua Kasie dengan beberapa orang staf. Tapi Saiful memenej tugas pelayanan 1.200 orang perawat dan 738 tempat tidur di RSUDZA. Dengan segala tingkah polah dan dinamikanya yang muncul saban hari.

Ayah tiga orang anak itu sudah terbiasa menampung beragam keluh kesah mulai dari para perawat hingga menjadi tempat curhat para pasien di rumah sakit milik Pemerintah Aceh ini. Semuanya penuh dinamika, karena dari hal kedinasan, hingga masalah pribadi sekalipun.

Pernah suatu masa seorang pria yang belakangan diketahui telah beristri, menemui Saiful bertanya tentang seorang perawat RSUDZA yang sering ia jumpai di rumah sakit itu. Keduanya ternyata sedang kasmaran, dan lelaki itu telah memberikan fulus hingga Rp 10 juta untuk sang perawat. Belakangan wanita yang senantiasa berbaju putih itu menghilang, dan sang lelaki kelabakan.

Saat dicek, ternyata wanita dimaksud tak ada alias perawat siluman, dan sang pria itu hanya jadi korban pecundang.

“Nah…yang model beginipun ada mengadu ke kita. Jauh dari koridor tugas…entaaaahlaaaah….” Di sisi lain, pria alumnus Nurse dari Universitas Indonesia (UI) itu, mengungkapkan falsafah tugas perawat yang bertolak belakang dengan armada pemadam.

Sama sama siaga penuh, namun pemadam beraksi saat kejadian. Tapi perawat siaga 24 jam.

Dinas harian perawat terbagi tiga shif diatur sedemikian rupa termasuk mengisi atau menukar shif perawat yang berhalangan.

“Pasien kan tak mau tahu tentang libur atau berhalangan seorang perawat, karena yang mereka tahu perawat harus stand by selalu di ruangan,” ungkap pria yang mendahului karirnya sebagai tenaga bakti selama tiga tahun itu.

Perawat terus diikat dengan protap pelayanan pasien yang beragam penyakit dan teknis layanan.

Ada obat malam, ada infus yang habis hingga ada operasi kala dinihari. Semua harus siap seiring waktu bergulir di jarum jam.

Yang paling dikeluhkan, adalah informasi yang kadang tak nyambung antara keluarga pasien dengan pihak rumah sakit, karena kerabat pasien yang tak meneruskan informasi kepada kerabat yang aplaus di rumah sakit.

“Dalam kondisi begini, kami tak mungkin menegakkan benang basah. Ya …kita terpaksa urut dada saja,” tutur Saiful yang mengaku pulang dari UI dengan membawa dua hal, ijazah dan istri itu.

Ayah dari Ikhwan Ilmu, Nova Akbar dan M Rafa itu ternyata masih menyempatkan diri berbagi ilmu di Universitas. Saiful masih tercatat sebagai tenaga pengajar di Unsyiah dan Universitas Abul Yatama.

Sebagai seorang perawat ia lebih banyak menghabiskan jam terbang di ruang kedaruratan atau high care, mulai dari ruang rawat bedah hingga ICU dan IGD. Pria berpostur macho itu kini menggenggam pangkat IV.a di posisi struktural.

Sebagai seorang perawat tulen, motto seorang Saiful Riza ternyata sederhana saja. “Bagi saya, hal yang paling memuaskan hati adalah ketika sukses membuat kondisi pasien yang kritis kembali ke jalur normal. Itu saja!”.

Selama bertugas ‘di lapangan’ ada satu hal yang tak lupa dari ingatan Saiful. Ketika ada seorang keluarga pasien menangis di ruang ICU, kala itu belum ada jasa BPJS, atau Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Saiful seakan merasa bersalah, apakah pelayanan yang ia berikan tak maksimal, hingga membuat keluarga pasien menangis? Ternyata sang ibu telah kehabisan segalanya saat suaminya masuk ICU. Rumah malah telah terjual, yang tinggal hanya sejumput perhiasan di badan.

“Kala itu, seorang masuk ke ICU, harus siap jadi jasmin (jatuh miskin), dengan obat yang mahal, serta biaya perawatan yang kala itu sehari mencapai Rp 4 juta. Kami bersinergi untuk membantu dengan memberikan pelayanan optimal, termasuk oleh dokter, hingga bapak itu keluar dari masa kritis dan bisa pindah dari ruang ICU ke ruang rawat inap biasa,” kisahnya.

Sang ibu secara tak sadar memeluk Saiful sembari mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga. “Bagi saya itu adalah kewajiban yang harus saya jalankan, sebagai pelayan pasien. Pasien tak mengharapkan uang atau materi, tapi dedikasi perawat dalam bertugas, konon lagi sang pasien bisa berkumpul kembali bersama keluarganya. Dedikasi tak boleh hitung uang dulu, karena rezeki itu akan datang dengan dengan sendirinya,” tutur pria kelahiran Gampong Punge, Banda Aceh itu. (nur)