Kenali dan Cegah Difteri dengan Imunisasi
Wakil Direktur Pelayanan Medis Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, Dr. dr. Azharuddin Sp.OT KSpine, mengatakan, saat ini penyakit difteri mulai menyerang anak-anak Aceh. “Kita di Aceh sudah banyak merawat pasien difteri, di RSUD dr. Zainoel Abidin ada 6 pasien yang sedang kita tangani, di rumah sakit daerah-daerah juga ada yang merawat pasien difteri,” katanya. Azaharuddin menjelaskan, difteri adalah infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat mudah menular dan termasuk infeksi serius yang dapat menyebabkan kematian.
Untuk itu, katanya, cara untuk mencegah penyakit ini satu-satunya adalah dengan melakukan imunisasi sesuai jadwal yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan atau Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) “Imunisasi ini adalah perlindungan terbaik terhadap kemungkinan tertular penyakit difteri, dan dapat diperoleh dengan mudah di berbagai fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta,” jelasnya. Dalam hal melakukan imunisasi, ada ketentuan yang sudah disepakati oleh Kementerian Kesehatan bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Untuk usia kurang dari 1 tahun harus mendapatkan 3 kali imunisasi difteri (DPT). Untuk anak usia 1 – 5 tahun harus mendapatkan imunisasi ulangan sebanyak 2 kali, untuk anak usia sekolah harus mendapatkan imunisasi difteri melalui pro gram Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) siswa Sekolah Dasar (SD) kelas I kelas V. “Setelah itu, imunisasi ulangan dilakukan setiap 10 tahun, termasuk orang dewasa. Apabila status imunisasi belum lengkap, segera lakukan imunisasi di fasilitas kesehatan terdekat,” jelasnya. Azharuddin yang juga Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Daerah Aceh ini juga mengajak semua masyarakat Aceh untuk mengenali gejalagejala awal penyakit difteri.
Karena menurutnya, gejala awal penyakit ini bisa tidak spesifik seperti demam tidak tinggi, nafsu makan menurun, lesu, nyeri menelan dan nyeri tenggorok, cairan hidung kuning kehijauan dan bisa disertai darah. “Namun memiliki tanda khas berupa selaput putih keabuabuan di tenggorok atau hidung, yang dilanjutkan dengan pembengkakan leher atau disebut sebagai bull neck,” terangnya. Jika gejalagejala tersebut terjadi, dia meminta agar membawa penderita ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan terdekat. “Apabila anak Anda mengeluh nyeri tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor) atau pembesaran kelenjar getah bening leher, khususnya anak berumur di bawah 15 tahun maka harus segera dirawat di rumah sakit,” katanya.
Apabila dicurigai menderita difteri, maka harus segera mendapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan apakah benarbenar menderita difteri atau tidak. Namun, apabila hasil diagnosis difteri, maka akan diberikan tatalaksana yang sesuai termasuk perawatan isolasi untuk memutuskan rantai penularan. “Kemudian, seluruh anggota keluarga serumah harus segera diperiksa oleh dokter dan petugas dari Dinas Kesehatan, serta mendapat obat yang harus dihabiskan untuk mencegah penyakit, apakah mereka juga menderita atau karier (pembawa kuman) difteri dan mendapat pengobatan,” jelasnya. Sementara itu, anggota keluarga yang tidak menderita difteri, maka akan segera dilakukan imunisasi sesuai usia dan harus melaksanakan semua petunjuk dari dokter dan petugas kesehatan setempat. “Setelah melakukan imunisasi, kadangkadang timbul demam, bengkak dan nyeri ditempat suntikan.
Itu adalah reaksi normal dan akan hilang dalam 12 hari,” ungkapnya. Namun bila anak mengalami demam atau bengkak di tempat suntikan, boleh minum obat penurun panas parasetamol sehari 4 kali sesuai umur, sering minum jus buah atau susu, serta pakailah baju tipis atau segera berobat ke petugas kesehatan terdekat. “Anak dengan batuk pilek ringan dan tidak demam tetap bisa mendapatkan imunisasi sesuai usia. Jika imunisasi tertunda atau belum lengkap, segera lengkapi di fasilitas kesehatan terdekat,” ujar Azharuddin.
Akhir 2017, difteri dilaporkan kembali menjangkiti Aceh. Padahal penyakit tersebut sudah lama tak terdengar kabarnya. Sepanjang tahun 2017, 53 warga dari beberapa kabupaten di Aceh terkena difteri. Tiga diantaranya meninggal dunia dan selebihnya dinyatakan sehat. Angka tersebut meningkat drastis dibandingkan tahun 2016. Kepala Dinas Kesehatan Aceh dr Hanif mengatakan, penyakit difteri ini mulai muncul kembali di Aceh sejak tahun 2010 lalu. Jumlah penderita penyakit ini meningkat pada tahun 2016 dan 2017. “Tempat kita (Aceh) timbul kembali penyakit difteri padahal dulu sudah kita anggap sudah tidak ada,” kata dr Hanif, awal Maret 2017.Angka penderita penyakit difteri ini meningkat tajam dalam dua bulan terakhir. Pada tahun 2016 lalu, jumlah warga yang terkena difteri yaitu 11 orang dengan rincian 4 di antaranya meninggal dunia. Menurut dr Hanif, penyebab difteri akibat rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengimunisasi anak mereka. Rata-rata, pasien difteri yang dirawat di rumah sakit di Aceh berusia di bawah 20 tahun. “Penderita difteri ini rata-rata anak-anak. Orang dewasa ada juga yang terkena. Penderita dewasa kurang fatal. Kalau anak-anak itu cukup fatal,” jelas dr Hanif. Pada Senin (11/12/2017) penyakit difteri di Provinsi Aceh ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB).
Sepanjang 2017, tercatat ada 93 pasien suspect difteri dan empat di antaranya meninggal dunia. Kepala Bidang Penanganan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Aceh, dr Abdul Fatah, mengatakan jumlah penderita difteri di Aceh pada 2017 meningkat tajam dibanding 2016, yang hanya 11 kasus. Data pada 2017 itu tercatat dari Januari hingga 11 Desember. “Aceh sudah KLB difteri. Dalam konteks difteri, ada satu saja terduga difteri sudah dikategorikan KLB,” kata dr Fatah kepada wartawan. Dari 93 kasus pada 2017, 4 di antaranya meninggal dunia, yaitu pasien dari Aceh Timur, Pidie Jaya, Bireuen, dan Aceh Utara. Saat ini enam pasien masih dirawat di ruang Respiratory High Care Unit (RHCU) RSUZA. Berdasarkan data yang dirilis Dinkes Aceh, ada 12 kabupa ten/ kota yang warganya terinfeksi bakteri difteri di Aceh. Di anta ranya di Aceh Timur 18 orang, Pidie Jaya 14 orang, Banda Aceh 13 orang, Bireuen 11 orang, Aceh Utara 11 orang, Pidie 6 orang, Aceh Besar 6 orang, Aceh Barat 4 orang, Lhokseumawe 2 orang, Sabang 2 orang, serta Aceh Selatan dan Aceh Tamiang.(*)